Hakikat Idul Fitri ialah hari kemenangan sekaligus kebahagiaan. Kemenangan karena manusia telah berhasil melewati puasa Ramadan yang penuh tantangan dan godaan. Kebahagiaan karena Idul Fitri merupakan momen perayaan yang berbalut suka cita. Abdul Ghani al Nabulsi sebagaimana dikutip oleh Zuhairi Misrawi menyebut bahwa barang siapa yang tengah merayakan Idul Fitri maka ia pada dasarnya tengah keluar dari kesedihan menuju kesenangan dan kemudahan.

Dalam konteks Indonesia, kemeriahan hari Idul Fitri sunggguh terasa dan bisa jadi lebih berwarna ketimbang negara-negara muslim lain. Ini lantaran Indonesia memiliki kekayaan tradisi lokal yang lantas berkelindan dengan ajaran agama (Islam). Akulturasi budaya dan agama inilah yang turut memperkaya khazanah dan ekspresi Islam di Indonesia (Nusantara). Lebih spesifik dalam konteks Idul Fitri kita menyaksikan sendiri betapa kita memiliki tradisi yang sangat kaya.

Mudik, silaturahmi, halal bi halal sampai bertukar bingkisan hanyalah sedikit dari sejumlah tradisi Idul Fitri yang berkembang di kalangan umat Islam di Indonesia. Sejumlah tradisi di momen Idul Fitri itu menandai bahwa perayaan hari kemenangan bukan semata berdimensi spiritual-teologis. Lebih dari itu, Idul Fitri juga memiliki dimensi sosial yang kental. Salah satunya ialah mempererat simpul persaudaraan.

Persaudaraan

Dalam tradisi Islam, kita mengenal konsepsi persaudaraan yang terbagi ke dalam tiga jenis, yakni persaudaraan keagamaan, persaudaraan kebangsaan dan persaudaraan kemanusiaan. Persaudaraan keagamaan ialah ikatan persaudaraan yang dilandasi oleh kesamaan identitas agama. Ikatan persaudaraan ini tercipta karena masing-masing individu atau kelompok merasa dekat dan memiliki satu sama lain karena memiliki agama dan kepercayaan yang sama.

Konsep persaudaraan berbasis keagamaan umumnya bersifat eksklusif, artinya hanya berlaku bagi kelompok agamanya masing-masing. Maka menjadi wajar jika individu atau kelompok yang berbeda agama kerap tidak dianggap sebagai saudara. Eksklusivisme ini kerapkali menimbulkan persoalan. Apalagi dalam konteks negara multikultur dan multireliji seperti Indonesia. Ini artinya, persaudaraan keagamaan kurang efektif meredam potensi perpecahan di masyarakat.

Kedua, persaudaraan kebangsaan yakni simpul persaudaraan yang dilandasi oleh kesamaan identitas kebangsaan. Berbeda dengan identitas keagamaan yang cenderung bersifat konkret, identitas kebangsaan ini cenderung bersifat abstrak. Identitas kebangsaan, merujuk pada pendapat Benedict Anderson ialah sesuatu yang dikonstruksikan bersama-sama oleh suatu kelompok dan disepakati sebagai sebuah konsensus. Identitas kebangsaan tidak hanya dibentuk oleh kultur, bahasa, warna kulit dan sejenisnya, namun juga oleh cita-cita dan orientasi masa depan.

Ketimbang persaudaraan keagamaan, persaudaraan kebangsaan nisbi lebih bisa menjembatani perbedaan yang ada di masyarakat. Dalam perspektif persaudaraan kebangsaan, perbedaan agama, ras, suku dan warna kulit tidak lagi dipersoalkan lantaran semua masih berada dalam satu payung kebangsaan yang sama. Hanya saja, identitas kebangsaan kerapkali problematis jika dikorelasikan dengan isu-isu global. Konsep persaudaraan kebangsaan kerap gagal merespons isu dan problem sosial-global karena cakupannya yang kurang luas.

Disinilah pentingnya konsepsi ketiga, yakni persaudaraan kemanusiaan. Yakni ikatan persaudaraan yang tidak lagi bertumpu pada sentimen keagamaan, dan imajinasi kebangsaan, namun dilatari oleh kemanusiaan. Dalam konsep persaudaraan kemanusiaan, semua umat manusia ialah bersaudara terlepas dari identitas agama, bangsa, warna kulit, suku, ras, etnis dan lain sebagainya. Konsep persaudaraan berbasis kemanusiaan ini dalam banyak sisi sesuai dengan ajaran Islam.

Islam ialah yang universal. Hal itu terlihat dari jargon Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin. Tentu itu bukan semata jargon saja, melainkan terejawantahkan dan terinternalisasi dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat baik dan menolong sesama tanpa membeda-bedakan identitas kebangsaan dan keagamaannya. Universalitas Islam juga tampak dalam keyakinan teologisnya. Yakni bahwa Islam mengakui pemeluk agama lain, terutama Yahudi dan Nasrani sebagai Ahlul Kitab. Penyebutan Ahlul Kitab ini jelas lebih terkesan inklusif ketimbang melabeli kelompok (agama) lain sebagai kafir.

Memperkuat Persaudaraan Kemanusiaan

Dalam konteks kekinian, simpul persaudaraan di kalangan umat Islam tampaknya hanya kuat di level persaudaraan keagamaan saja. Itu pun sebenarnya tidak benar-benar solid. Buktinya, banyak umat Islam yang masih bertikai satu sama lain hanya karena perbedaan dalam menafsirkan ajaran agama. Bahkan tidak jarang antarumat Islam saling mengkafirkan karena perbedaan mazhab dan keyakinan.

Perayaan Idul Fitri ini kiranya bisa menjadi momentum umat Islam untuk mempererat simpul persaudaraan, tidak hanya persaudaraan berbasis keagamaan, namun juga persaudaraan kebangsaan dan kemanusiaan. Nalar eksklusivisme kiranya harus kita buang jauh-jauh karena hal itu tidak relevan dengan dinamika dan tantangan zaman digital-kontemporer ini. Di era modern seperti saat ini, kolaborasi antarkelompok masyarakat lintas agama dan bangsa akan jauh lebih efektif mengatasi persoalan ketimbang saling berkompetisi, apalagi berkonfrontasi.

Era modern ialah era kolaborasi lintas bangsa dan agama untuk mewujudkan tata kehidupan global yang bertumpu pada nilai kemanusiaan. Kolaborasi itu mustahil terwujud tanpa mengokohkan ikatan persaudaraan yang melampaui sentimen keagamaan dan imajinasi kebangsaan. Konsep persaudaraan berbasis kemanusiaan itu bisa kita pelajari dari tradisi Idul Fitri yang dipraktikkan di Indonesia. Seperti kita lihat, momentum Idul Fitri di Indonesia telah menjadi tradisi yang bukan saja dimiliki oleh umat Islam, namun juga umat agama lain.

Maka dari itu, kita patut mengambil inspirasi dari perayaan Idul Fitri. Momen Idul Fitri idealnya tidak hanya berorientasi sebagai ritus keagamaan yang bernilai spiritual. Di saat yang sama, Idul Fitri idealnya juga bisa dibingkai dalam perspektif sosial. Salah satunya ialah dengan memperkokoh ikatan persaudaraan antar sesama manusia tanpa mempermasalahkan identitas keagamaan dan kebangsaannya. Jika semua umat manusia bisa bersaudara tanpa memandang identitas keagamaan dan kebangsaan, niscaya harmoni sosial akan tetap terjaga.

Gusveri Handiko
Blogger Duta Damai Sumbar Tamatan Universitas Andalas Padang Menulis Adalah Salah Satu Cara Untuk Berbuat Baik

    Ujian di Hari Yang Fitri

    Previous article

    Pers Kampus Untuk Mengikis Radikalisme

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in Opini