Media teknologi pada zaman saat ini bukan lagi hal yang tabu di mata setiap orang perkembangannya yang kian pesat dampak yang dihasilkan dari teknologi juga bervariasi, dari yang tidak bermanfaat sama sekali hingga yang sanggat tidak bermanfaat ataupun membahayakan bagi penggunanya. Dari anak-anak hingga orang dewasa saat ini sudah mengunakan media teknologi dalam melakukan kegiatan keseharian , banyak yang menggunakan namun tidak tutup kemungkinan ada juga yang  memilih untuk tidak menggunakan media teknologi, tidak terlepas alasan dari dampak negatif yang mereka dapatkan. Salah satu tindak kejahatan yang sering kali terjadi di kalangan anak muda sebagai pengguna dalam media sosial yaitu bullying namun bullying kali ini bukan yang di lakukan secara fisik akan tetapi mental karna tindakan tersebut di lakukan tanpa adanya kontak fisik itulah yang sering di sebut sebagai cyberbullying.

Cyber? Dan bullying?

 Dua kata yang sudah tidak asing lagi bagi telinga kita  mungkin ada sebagian dari golongan yang masih tabu dengan bahasa ini. Sederhananya arti kata “cyber” itu ialah sebuah media elektronik dan “bullying” sebuah tindakan perundunggan atau kekerasan, secara tidak langsung arti dari cyberbullying ialah tindakan kekerasan yang di lakukan di media sosial seperti platfrom yang sering kita gunakan contohnya saja seperti instagram, facebook, twitter dan media sosial lainnya. Cyberbullying adalah perlakuan kasar yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, menggunakan bantuan alat elektronik yang dilakukan secara berulang dan terus menerus pada seorang target yang kesulitan membela diri (Smith dkk., 2008; dalam klikpsikologi, 2013).

Pada dasarnya cyberbullying itu sendiri bukan sekedar  perundungan semata yang dilakukan di media sosial, akan tetapi cyberbullying itu bermacam-macam jenisnya yaitu menurut Willard (2007; dalam Sylmia, 2012) sebagai berikut;

1. flaming : istilah “flame”  berapi-api yaitu sebuah text yang berisikan kalimat yang mengandung unsur kemarahan dan frontal.

2. harassment : sebuah pesan yang bertujuan meneror seseorang  dengan terus menerus di jejaring media sosial.

3. denigration: tindakan yang bertujuan untuk mencemarkan nama baik atau reputasi seseorang di internet.

4. impersonation: berpura-pura menjadi orang lain dengan tujuan mengirimkan pesan ataupun status yang tidak baik.

5. outing: menyebarkan rahasia pribadi orang lain berupa video, ataupun foto di media sosial.

6. tricekery: tindakan untuk mengelabui seseorang dengan tujuan untuk mendapatkan rahasia pribadi orang tersebut.

7. exclusion: mengeluarkan seseorang dari sebuah grup dengan kesengajaan.

8. cyberstalking: prilaku menggangu atau mencemarkan nama  baik orang lain secara intens yang berakibat membuat ketakutan pada orang tersebut.

Kasus yang sering terjadi ada pada masa remaja yang menjadi korban dan pelaku juga dari kalangan remaja, apa yang mereka lakukan tidak terlepas dari faktor-faktor yang ada pada diri mereka sendiri dan juga faktor dari luar. Masa remaja awal menjadi masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Masa remaja sering diidentikkan sebagai masa individu mulai berusaha mengenal diri melalui eksplorasi dan penilaian karakteristik psikologis diri sendiri sebagai upaya untuk dapat diterima sebagai bagian dari lingkungan (Steinberg & Morris, 2001).

Pola asuh dalam memberikan kebebasan dari orang tua kepada anak-anak mereka yang usia anak beranjak remaja yang dimana mereka sedang tahap mencari jati diri dan saat itu pula mereka bebas dalam mengekspresikan diri di dunia maya, bagi mereka yang berhasil dalam mengatasi masalah krisis hidup maka hasilnya mereka menjadi orang yg dapat di terima dalam lingkungan sosial maupun diri sendiri. Akan tetapi permasalahannya pada remaja yang tidak berhasil menyelesaikan permasalahan yg ada pada diri mereka berdampak pada masalah identitas diri mereka sendiri seperti yang dikemukakan oleh Erikson sebagai identity confusion (santrock, 2012) dampaknya ialah, mengakibatkan individu menarik diri dari lingkungan sosial baik pertemanan maupun keluarga , atau individu akan masuk kedalam lingkungan yang sama-sama tidak dapat menemukan identitas diri mereka.

Dan mengapa pembully melakukan tindakan cyberbullying di media sosial disebabkan karena mereka berlaku tanpa dijaga dengan konsep yang di gunakan ialah disinhibition dimana pelaku dapat melihat akitifas korban tanpa harus bertemu langsung maka dari itu membuat mereka dapat terus-terusan melakukan pembullyan karena pelaku tidak melihat dampak dari kata ataupun tindakan di kehidupan nyata. Efek yang dikhawatirkan ialah memungkinkan untuk bunuh diri.

Data dari KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat.  Dari grafik yang ada telah memberikan kita gambaran betapa ganasnya media sosial bagi para usia yang sangat rentan terhadap bahaya. Menjelajahi dunia online memang dapat memberikan kita akses informasi yang tak terbatas, namun hal itu tidak tutup kemungkinan terjadinya penyalahgunaan. Jadi apa yang harus kita lakukan untuk dapat menghentikan cyberbullying? Mungkin kita menjawab dengan cara berhenti saja dalam bermain internet, namun apakah hal itu akan membantu? Saya rasa tidak, dengan cara kita berhenti sejenak itu tidak menyelesaikan masalah tapi cukup untuk mempulihkan diri sendiri. Akan tetapi cara efektif saat ini ialah dengan melaporkan tindak kejahatan yang terjadi karena aturan dalam berteknologi  di Indonesia sudah di atur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disebutkan bahwa siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang melanggar kesusilaan, akan dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.

Maka dari itu  bagi pengguna sosial media ataupun internet bila mendapatkan perlakuan yang tidak pantas jangan malu atau takut untuk menceritakan kepada orang terdekat bila rasanya sulit untuk melapor kepada pihak yang berwajib,  tapi dengan cara sharing kepada orang yang dapat di percaya salah satu alternatif agar kita tidak di rundungi oleh rasa takut yang berlebihan. Karena dampak bagi psikis sanggat berpengaruh besar, tetap berhati-hati dalam mengunakan media sosial tau akan hal yang bersifat pribadi dan umum dengan itu menguranggi potensi akan bahaya yang menghampiri kita.

Mengenal Luhak Nan Tigo, Asal Mula Budaya Minangkabau

Previous article

Pemuda Merupakan Ujung Tombak Perubahan

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini