Penulis : Amil Nur Fatimah

Di dalam setiap etnis, suku, budaya, serta keyakinan yang beragam di negeri ini, pasti memiliki (Circle) atau lingkaran persaudaraan yang mengikat, di setiap masing-masing kelompok tersebut. Tetapi, kita perlu paham. Bahwa, dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, kita semua sejatinya adalah (bersaudara).

Karena pada hakikatnya, persaudaraan itu tidak hanya sempit pada identitas tertentu. Apa yang saya sebut sebagai “identitas mikro” yang kita miliki masing-masing. Karena, sebagaimana dalam prinsip berbangsa dan bernegara ini, Ulama bangsa mengenalkan istilah Ukhuwah Wathoniyah. Bahwa kita sejatinya memiliki “identitas makro” berupa persaudaraan dalam kebangsaan. Sebagaimana fungsinya, kita boleh berbeda, tetapi di hadapan semangat (cinta tanah air) kita semua bersaudara dalam satu frekuensi dan satu prinsip yang sama.

Maka, di sinilah yang dimaksud dengan persaudaraan dalam kebangsaan yang mutlak, perlu kita pertahankan dan perjuangkan. Bagaimana di dalamnya, berkumpul beragama perbedaan-perbedaan yang harmonis. Serta, saling menghargai, saling tolong-menolong dan saling bekerja-sama untuk kepentingan bangsa ini. Serta, tidak lupa pula bagi kita untuk tidak saling mengganggu satu sama lain.

Jadi, sangat (keliru) jika persaudaraan itu hanya bergulir pada identitas personal yang melekat. Sebagaimana, orang yang beragama Islam hanya boleh bersaudara dengan orang Islam saja. Suku Dayak hanya boleh bersaudara dengan Suku Dayak saja. Hingga, seterusnya, persaudaraan hanya sempit dan buta pada satu identitas saja.

Padahal, kita masih memiliki “ikatan genetik” sebagai manusia. Bagaimana, kita satu sama lain perlu merawat persaudaraan antar manusia dan saling memanusiakan manusia lain. Sebagaimana dalam konteks berbangsa dan bernegara, ulama bangsa mengistilahkan persaudaraan itu sebagai Ukhuwah Basyariah. Bagaimana, kita perlu bersatu dan tidak boleh saling mengganggu satu sama lain atas nama persaudaraan kemanusiaan. Karena, kita semua adalah bersaudara dalam wadah (Bangsa Indonesia) yang mengikat.

Oleh sebab itulah, kenapa semua perbedaan “identitas mikro” yang kita miliki itu, tidak serta-merta menutup persaudaraan dalam “identitas makro” yang telah menjadi jati diri kita dalam berbangsa. Karena, ketika persaudaraan dalam identitas mikro ini hanya membahas persoalan persamaan keyakinan, persamaan budaya, suku atau persamaan bahasa. Tetapi, persaudaraan dalam “identitas makro” ini lebih mengacu kepada (siapa kita) yang sebenarnya yang lebih filosofis dan hakiki.

Bagaimana “identitas makro” yang bernama (bangsa Indonesia) itu meniscayakan kita untuk mengenal kita yang sebenarnya. Bahwa kita adalah sama-sama manusia dan perlu menjaga ikatan kemanusiaan itu. Serta, kita adalah manusia yang selalu condong (butuh yang lain) atau makhluk sosial, maka di sinilah alasan pentingnya kita semua bersaudara. Serta, meniscayakan, bagaimana seandainya perbedaan yang kita miliki justru tidak saling menghargai, niscaya pertumpahan darah serta konflik akan selalu terjadi.            

Maka, siapa-pun boleh memperkuat persaudaraan dalam “identitas mikro” yang dimilikinya. Layaknya, persaudaraan dalam sebuah suku, budaya, keyakinan dan etnis. Tetapi, ketika berhadapan dengan konteks hidup berbangsa dan bernegara, kita sejatinya adalah bersaudara. Sebagaimana simbol kita, yaitu kita boleh berbeda-beda. Tetapi kita perlu saling menghargai semua perbedaan itu. Juga, kita boleh berbeda-beda, tetapi selama berhadapan dengan jati diri berbangsa dan bernegara, kita semua adalah bersaudara tanpa tawaran sedikit-pun.

Sumber : jalandamai.org

dutadamaisumbar

Mereka yang Berbeda Keyakinan Tidak Berarti Bukan Saudara

Previous article

Hanya Indonesia Yang Memakai Setir Kanan? Lalu Inggris!!!

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini