Penulis : ONRIZA PUTRA
Sumber Tulisan : fandom.id
Setelah Liga 1 Putri bergulir, tercatat ada dua kejadian beruntun yang berkaitan dengan diskriminasi terhadap pemain sepakbola perempuan Indonesia.
Pertama, ulah suporter Arema FC yang membuat spanduk bertuliskan “Purel Dolly” ketika tim putri Arema FC berhadapan dengan Persebaya Surabaya. Kedua, muncul meme dengan tulisan “Maung Lonte” buatan suporter Persija Jakarta yang ditujukan kepada pemain Persib Bandung jelang laga tim putri kedua tim.
Pada tulisan saya yang berjudul, “Liga 1 Putri : Ditunggu atau Ditentang?“, sudah dimunculkan pertanyaan apakah liga ini menjadi kompetisi yang ditunggu-tunggu oleh insan pencinta sepakbola tanah air atau justru ditentang karena dianggap tabu bagi masyarakat kita yang patriarkis.
Diskriminasi terhadap perempuan atau saat ini populer disebut seksisme (diadopsi dari kata sexism) adalah tantangan utama dan menjadi isu sentral kaum feminis.
Menurut Kamus Bahasa Inggris, seksisme punya sejumlah pengertian, antara lain:
- Attitudes or behavior based on traditional stereotypes of gender roles.
- Discrimination or devaluation based on a person’s sex or gender, as in restricted job opportunities, especially such discrimination directed against women.
- Ingrained and institutionalized prejudice against or hatred of women; misogyny.
Secara umum, seksisme adalah ucapan atau tindakan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan.
Menurut Puput Putri dalam tulisannya di Colombo Studies yang berjudul “Sepakbola, Seksisme dan Pembedaan Identitas Suporter Wanita“, salah satu bentuk seksisme dalam sepakbola kita adalah mengeksploitasi suporter perempuan.
Masyarakat Indonesia cenderung melabeli stigma buruk atas keberadaan suporter wanita di tribun penonton. Pengidentifikasian label-label feminim seperti ladies, woman, girls, nona, angels, dan lain-lain amat ditonjolkan.
Hal ini berbeda dengan suporter laki-laki yang biasanya cuma disebut suporter saja tanpa embel-embel maskulin. Penyebutan bidadari tribun atau selebriti tribun justru memberi kesan kehadiran suporter, terutama di stadion, wanita begitu istimewa. Padahal perempuan memiliki hak yang sama untuk menyaksikan pertandingan sepakbola.
Putri juga menambahkan bahwa eksploitasi terhadap suporter perempuan juga dilakukan oleh media. Sebagai contoh, kita seringkali melihat kameramen televisi memfokuskan kameranya kepada suporter perempuan yang ada di tribun. Tanpa disadari, perilaku seperti ini sering dianggap biasa saja oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan oleh perempuan sekalipun.
Di ranah media sosial, suporter Indonesia lebih banyak mengomentari paras dan bentuk fisik pemain-pemain yang bermain di Liga 1 Putri daripada membahas kemampuan mereka dalam mengolah si kulit bundar atau kerjasama mereka dalam menciptakan gol. Kata-kata jorok dan fantasi negatif menjadi obrolan yang paling sering ditampilkan.
Seksisme tidak hanya dialami oleh pemain sepakbola perempuan Indonesia. Bahkan masih terjadi pada sepakbola internasional. Perlakuan pembawa acara Martin Solveig terhadap Ada Hegerberg saat penyerahan trofi Ballon d’Or kategori perempuan merupakan salah satu contohnya.
Ketika itu, pemain asal Norwegia yang membela Olympique Lyonnais tersebut diminta untuk melakukan Twerk (tarian asal Amerika yang menggerakkan pantat naik turun secara cepat/tarian sensual) sebagai bentuk selebrasi. Kalimat yang diucapkan Solveig adalah “Est-ce-que tu sait twerker?”.
Ada Hegerberg langsung memasang wajah tidak senang dan mengucapkan “Non” yang berarti menolak. Kontroversi itu sendiri memaksa Solveig memberikan klarifikasi sekaligus meminta maaf.
Masih berkaitan dengan sepakbola, kita tentu masih ingat apa yang terjadi terhadap salah satu penyanyi dangdut terkenal di Indonesia, Via Vallen. Melalui akun instagramnya, perempuan asal Surabaya berusia 28 tahun tersebut mengunggah pesan yang berunsur pelecehan dari salah seorang pesepakbola yang merumput di Liga 1.
Kejadian-kejadian di atas adalah contoh kecil dari banyaknya kasus seksisme yang dialami perempuan dalam ranah sepakbola. Keterlibatan perempuan dalam sepakbola pun masih jadi perdebatan di banyak negara.
Hadirnya Ratu Tisha dalam manajemen persepakbolaan nasional dianggap menjadi perkembangan positif keterlibatan perempuan dalam sepakbola. Tidak tanggung-tanggung, alumni FIFA Master ini ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal perempuan pertama dalam sejarah PSSI. Tidak hanya itu, ia juga menjabat Wakil Presiden AFF dan Anggota Komite Kompetisi AFC.
Melihat apa yang ditampilkan oleh segelintir suporter terhadap pemain Liga 1 Putri, kita tentu berharap agar peristiwa serupa tidak terulang di partai-partai selanjutnya. Ancaman seksisme merupakan stigma negatif terhadap pemain perempuan, eksploitasi suporter maupun diskriminasi gender. Hal ini tentu buruk bagi perkembangan sepakbola di Indonesia, utamanya sepakbola wanita.
Tindakan-tindakan semacam itu justru sebuah anomali dalam olahraga. Padahal, olahraga seperti sepakbola, acap diklaim sebagai bahasa universal yang dapat menyatukan berbagai perbedaan. Mulai dari umur, status sosial, etnis, suku, agama, terlebih jenis kelamin. Sepakbola menjunjung tinggi karakter fair play yang pada pangkalnya, bisa menyatukan bahkan dapat membangkitkan nasionalisme.
Jika ingin melihat sepakbola jadi sesuatu yang adil bagi semua, maka mari bersama-sama, memulai dari diri sendiri, untuk menghentikan ucapan dan tindakan seksisme. Tak sepatutnya seksisme beroleh tempat dalam sepakbola.
Comments