Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa “alam takambang manjadi guru“, merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu.
Pada masa kedatangan Islam, pemuda-pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong setiap kaum keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan para pemuda kampung.
Setelah kedatangan imperium Belanda, masyarakat Minangkabau mulai dikenalkan dengan sekolah-sekolah umum yang mengajarkan ilmu sosial dan ilmu alam. Pada masa Hindia Belanda, kaum Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling bersemangat dalam mengikuti pendidikan Barat. Oleh karenanya, di Sumatra Barat banyak didirikan sekolah-sekolah baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.
Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak di antara mereka yang pergi merantau. Selain ke negeri Belanda, Jawa juga merupakan tujuan mereka untuk bersekolah. Sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta, merupakan salah satu tempat yang banyak melahirkan dokter-dokter Minang. Data yang sangat konservatif menyebutkan, pada periode 1900 – 1914, ada sekitar 18% lulusan STOVIA merupakan orang-orang Minang.
Di Era Digital atau lebih dikenal dengan industri 4.0 yang rata-rata dihunyi oleh anak muda juga dikenal beberapa tokoh yang bergerak di industri ini. sebut saja pendiri Gojeck yang saat ini menjadi Mendikbud Nadiem Makarim yang mendapatkan garis keturunan minangkabau dari ayahnya yang berasal dari keturunan Minang-Arab. Startup besutan Ivan, Riyo Ramadhan, Ray Syahputra, dan Muhammad Kaisar yang diberi nama “Avrego” dimana ke empat pemuda itu adalah keturunan Minangkabau. Imam Usman (CEO Ruang Guru) dan Ferry Unadi( pendiri Traveloka).
Di Era Post-truth dimana post-true hadir pada awal industri 4.0 muncul dan kemungkinan akan terus berkembang ketika tidak ada lagi tren baru berpolitik di indonesia. Era Post-truth merupakan efek samping dari era industri 4.0 dan bisa saja akan berakhir ketika era Society 5.0 dimulai nantinya.
Sampai saat ini belum ada tokoh minangkau yang bergerak dibidang counter narasi untuk menghadang perkembangan era post-truth ini. era post-truth ditandai dengan makin tingginya minat orang untuk melihat berita negatif tanpa melakukan literasi media dalam menanggapi pemberitaan tersebut. Portal berita akan terus dibanjiri viewer namun sayang hanya untuk portal berita yang menggunakan tagline negatif dan isi yang tidak berbobot dan tidak jarang mengundang perpecahan setelah beritanya dirilis.
Era post-truth di indonesia tidak bisa di elak kan karena indonesia terlambat menerapkan konsep negara demokrasi. 32 tahun indonesia memang menggunakan konsep negara demokrasi namun demokrasi terpimpin yang mengakibatkan lambatnya perkembangan pola pikir memajukan bangsa secara kolektif. Namun dalam konsep kebangsaan semuanya masih bisa dikejar jika dapat mengendalikan era post-truth ini.
Tidak terkecuali di Ranah Minang yang dari dulu dikenal sebagai lahirnya cendekiawan atau pemikir ulung di indonesia. Namun harus di ingat jangan terhibur dengan pencapain masa lalu ranah minang jadi lah tokoh pelopor perubahan atau lebih dikenal dengan istilah “New Era”.
Tidak ada lagi istilah masa lampau sebagai argumen namun bagaimana ranah minang mencoba meneruskan era cendikiawan minang dengan bersama-sama berjuang marawat negeri dan memajukan ranah minag itu sendiri. Tidak ada lagi istilah orang Minangkabau adalah orang islam namun orang minangkabau adalah orang indonesia yang punya suku bangsa dan kebudayaan yang berbeda-beda. Tidak ada lagi istilah dalam tatanan kepemerintahan daerah mengeluarkan kebijakan yang hanya mementingkan kelompok tertentu.
Kesukesesan di era industri 4.0 di ranah minang ditentukan oleh bagaimana mengendalikan efek samping industri 4.0 tersebut yaitu era Post-truth. Dimana kebohongan akan menjadi kebenaran karena di lontarkan secara berulang-ulang dan di sebarkan oleh orang terkenal lewat media sosial. Diharapkan akan muncul anak muda minangkabau yang konsisten dalam counter narasi Hoaks ini.
Jangan sampai ranah minang kehilangan falsafah hidup “Alam Takambang Jadi Guru” karena tidak berusaha reaktif dalam menghadapi perkembangan zaman yang positif dan berusaha menjadi “Bidder” (penawar) dalam menghadapi perkembangan zaman yang berdampak negatif.
Comments