Islam adalah agama yang penuh semangat salah satu ajaran populernya adalah Jihad (Kesungguh-sungguhan), semangat inilah yang menghantarkan Islam kepada kemegahan peradaban dulu. Pada awal munculnya ke permukaan sejarah kaum Muslim menerima hidup dengan riang hati dan yakin.
Hidup adalah Jihad , mereka tak gentar mencari ilmu ke negeri Cina, menyalin karya-karya Filsafat Yunani, menyadap puisi Persia dan Timur jauh. Dari semua itu mereka menciptakan banyak hal, menemukan banyak segi. Mereka membumikan Jihad menjalankan mandat yang diberikan Tuhan untuk menjadi Khalifah di muka bumi dan memeperteguh sebuah surat keyakinan. Tapi kemudian Negeri-negeri Islam terdesak dalam sejarah tampak selalu saja satu peradaban yang pernah menjulang kemudian terpukul, dan sindrom peradaban yang luka hadir.
“Islam is a wonder civilization”. Ujar V.S Naiful. Di abad ini sebagian besar Muslim hidup di wilayah yang tak nyaman di dengar “Dunia Ketiga” mereka berada di paling akhir menurut ukuran prestasi yang kini telah berlaku. Dan bila kita mengingat Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun justru dengan perasaan luka di hati, dari sini makna Jihad yang awalnya begitu luas dan pada akhirnya begitu sempit.
Pedang dan perang, Risalah yang awalnya Rahmatan lil ‘Alamin menjadi nampak garang. Kita tak menutup mata bahwa Nabi Muhammad melakukan perang, yang sering kita lupa adalah bahwa perang Nabi adalah dalam konteks memperjuangkan kemanusiaan itupun hanya delapan bulan dari dua puluh tiga tahun dakwah beliau.
“Kekerasan adalah senjata orang-orang yang hatinya lemah”. Kata Mahatma Gandhi. Seorang teman berkata “ kalau demikian berarti Hati Rasulullah lembek?”. Hemat saya, keliru jika kita mencerna suatu masa dengan kearifan masa yang lain. Rasulullah hidup di abad ke -6 Masehi, di kultur padang pasir dan di tengah keangkuhan pedang. Sementara Gandhi hidup di masa “Pencerahan” di budaya India, di tengah keangkuhan Tank dan Nuklir. Jiwa Rasulullah sangat kuat bahkan terlalu kuat sampai ia berujar “Barangsiapa yang melukai kafir dzimmi maka ia telah melukai aku”.
Yang kemudian yang terjadi adalah suatu proses dengan akibat yang kadang muram dan kadang cemerlang, yang muram inilah rasa putus asa dari sini fenomena Takfirisme menyeruak. Apapun yang bukan Islam adalah kafir. Dunia luar terutama barat adalah kafir, apapun yang datang dari kafir haruslah di tampik dan harus di perangi.
Barat dengan segala hiruk-pikuknya lalu hadir. Ada mesin-mesin, ada bisnis besar, ada kapitalisme, ada sosialisme, ada penghargaan kuat kepada individu dan demokrasi, ada kesamaan hak dan kebebasan, dan Filosofi Karl marx, dan lain-lain. Hal itulah yang sangat kuat hadir dan dengan satu dan yang lain cara seakan-akan akan mencemooh kita yang tak ikut menyertainya.
‘’wajar bila kita menolaknya” ujar Goenawan Muhammad setelh menolak lalu merasa menjalankan jihad kembali. Atas nama Jihad “ tolak demikrasi ganti dengan khilafah” eksperimen ilmiah, eksperimen kesenian, warna-warni kebudayaan yang umumnya bersifat lokal dan pribumi harus di musuhi. Lahirlah jargon ”ganti Pancasila dengan Al-qur’an dan Sunnah”.
Orang yang putus asa takfirisme cenderung sukar untuk kompromi, dalih mereka demi kemurnian Al-qur’an dan Sunnah . Mereka lupa, sejarah tak selamanya ditentukan oleh murni dan kotornya doktrin begitu banyak yang faktor lain yang menyebabkan kita berada dalam status dunia ketiga dengan sebuah peradapan yang luka. Islam, apapun manifestasinya tak dapat di sebut biang keladi keterbelakangan ekonomi. Hindu, tak dapat juga sepenuhnya menerangkan kemiskinan. Betapapun mahsyurnya Max Howeber dan Hombart, ada banyak bolong dalam teori bahwa agama Protestan di Eropa Utara adalah penyebab kapitalisme maju. Kehidupan terlalu megah untuk di terangkan dalam satu teori. Karena itu, dengan bekal kemurnian Al-qur’an dan Sunnah kaum takfiri akan selalu kecewa dan terus kecewa bila melihat dunia modern akan tetap saja “menyisihkan umat”. Syukur, sebuah peradaban luka kadang melahirkan hal-hal yang cemerlang.
Seperti umat Islam di mana-mana, di Indonesia pun mereka terdesak. Tapi berbarengan dengan itu kian banyak kaum terpelajar dari kalangan santri, duta-duta perdamaian dan kancah pemikiran moderasi beragama kita kian semakin marak, tak semuanya saling setuju tapi tak semuanya putus harapan bahwa keadaan tak lagi tertolong dan budaya di luar hanyalah hitam. Belum lagi harga ditengah kita, dengan bangga anak bangsa menyumbangkan pada dunia Teknologi 4G long term evolution, hasil karya Khoirul Anwar.
Satu yang penting, “Moderasi beragama”, perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang dengan itu semua membuat hidup lebih bermakna untuk mengenal tuhannya serta saling mengerti, memahami serta menghormati perbedaan yang lain. satu peradaban yang luka bukan berarti peradaban yang mati justru peradaban yang sedang menyembuhkan diri.
ditulis oleh ARIKHA RISKI
Comments