Redaksi- Duta Damai Sumbar, Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tengah dirundung masalah. Mulai dari dugaan penyelewengan dana oleh para petinginya, pemotongan donasi, hingga kampanye berlebihan.
Masalah tersebut terangkum dalam laporan Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022. Berjudul Kantong Bocor Dana Umat, laporan tersebut mengungkap berbagai persoalan yang dialami salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia tersebut.
Dalam satu dari tiga laporan itu, Majalah Tempo menuliskan soal sepak terjang mantan Presiden ACT, Ahyudin, yang diduga menyelewengkan dana lembaganya. Ahyudin dituding menggunakan uang lembaganya untuk kepentingan pribadi mulai dari membeli rumah dan perabotannya hingga transfer belasan miliar ke keluarganya.
Ahyudin secara pribadi telah membantah tudingan itu. Dia hanya mengaku memang sempat membeli rumah dan terlilit tunggakan kredit.
Selain soal penyelewengan dana, ada juga cerita soal kampanye berlebihan yang dilakukan ACT. Salah satunya adalah kasus donasi untuk pembangunan Musala di Australia. ACT dalam kampanyenya menggunakan narasi, “Surau Pertama di Sydney”. Padahal sudah ada ratusan tempat ibadah umat Islam di sana.
Sejumlah pendiri komunitas Surau Sydney Australia pun menyatakan dari dana Rp 3,018 miliar yang terkumpul, mereka hanya mendapatkan Rp 2,311 miliar. Artinya, ada potongan sekitar 23 persen dari total donasi.
“Pemotongan donasi ini terlalu besar,” ujar Meilanie Buitenzorgy, keluarga salah satu pendiri surau tersebut.
Peneliti filantropi, Hamid Abidin menilai pemotongan itu terlalu besar. la mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan yang menyebutkan potongan maksimal untuk donasi sosial hanya 10 persen. Sedangkan zakat, infak, dan sedekah maksimal 12,5 persen.
“Potongan untuk biaya operasional dan lain-lain sudah termasuk di dalamnya,” ujar Hamid. Menurut dia, lembaga filantropi seharusnya jujur dan menyampaikan sejak awal potongan donasi yang diterapkan. Dengan begitu, donatur bisa mengetahui dan memilih kepada siapa donasi disalurkan.
Hamid menyatakan banyak lembaga pengumpul donasi kerapa melebih-lebihkan promosinya. menilai kampanye pembangunan masjid di Sydney dan Magetan termasuk pelanggaran kode etik karena menggunakan informasi bohong. “Pihak crowdfunding, seperti Kitabisa, juga tak boleh lepas tanggung jawab. Kalau ada konten yang tidak benar, jangan dinaikkan,” ucap Hamid.
Tulisan lengkap soal permasalahan ACT tersebut bisa dibaca pada Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022.
Comments