Penulis : Ernawati Ernawati
Selang beberapa hari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengurai ciri penceramah radikal, beberapa kelompok dan individu mulai kegerahan dan kepanasan. Salah satu yang muncul adalah Sekjen Majelis Ulama (MUI) Amirsyah Tambunan yang menilai langkah BNPT telah blunder. Amirsyah mengirimkan tulisan “Blunder Kriteria Radikal Ala BNPT” ke berbagai media dengan kritik satu persatu poin ciri tersebut.
Sebelum ke subtansi kritik yang sebenarnya Amirsyah juga blunder, Saya kira penting untuk melihat ini secara utuh. Berawal dari Presiden yang menyitir istilah penceramah radikal dan BNPT sesuai dengan tugas dan wewenangnya memberikan ciri-ciri penceramah radikal untuk meningkatkan kewaspadaan. Atas dasar itulah, Legislator dari Nasdem, Wakil Ketua Komisi III, menilai Langkah BNPT itu tidak blunder, tetapi sudah tepat sesuai dengan tugas BNPT. Dukungan juga datang dari legislator PKB anggota komisi III Jazilul Fawaid yang justru menilai pernyataan Amirsyah membuat gaduh.
Sekarang kita focks ke subtansi kritik Amirsyah yang menggunakan Bahasa blunder. Pertama, kriteria anti Pancasila dan pro-khilafah menurutnya blunder karena tidak memahami ajaran Islam seperti khilafah sebagai problem umat dan bangsa. Poin ini mengingatkan Saya kepada slogan organisasi yang dibubarkan Pemerintah HTI : khilafah solusi umat.
Apakah itu ajaran Islam atau sejarah dalam Islam masih termasuk khilafiyah. Tetapi, fakta menyatakan khilafah digunakan oleh individu dan kelompok sebagai propaganda untuk mengganti dasar ideologi negara. Karena itulah, di berbagai negara pengasong khilafah ini dilarang. Bukan melarang itu sebagai ajaran dan sejarah Islam, tetapi melarang Gerakan khilafah yang ingin mengganti dasar negara. Siapa yang blunder?
Kedua, Amirsyah mengatakan bahwa takfiri adalah konsep dalam Islam dengan membagi kafir dzimmi dan kafir harbi. Secara teori itulah ijitihad para ulama. Tetapi fakta takfiri digunakan sebagai ideologi untuk mengkafirkan sesama muslim, bahkan mengkafirkan negara. Boleh berbicara tentang teori dan ijtihad, tetapi dalam ijtihad mereka takfiri digunakan sebagai ajaran untuk menghalalkan darah mereka yang berbeda. Siapa yang blunder?
Ketiga, Amirsyah juga mengkritik ciri sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci. Dalam hal ini, beliau salah memahami. Anti pemerintah bukan oposisi dan melarang kritik. Namun, anti pemerintah adalah tidak mengakui kepemimpinan yang sah sebagai bentuk taat kepada ulil amri.
Anti pemerintah tidak mengakui pemerintahan yang ada karena mereka memandang sudah ada amir sendiri yang harus dipatuhi. Persoalan memberikan masukan, kritik, posisi opisisi adalah hal wajar dalam demokrasi. Namun, kritik bukan berarti membolehkan adudomba, fitnah dan provokasi. Siapa yang blunder dalam memahami?
Keempat, Amirsyah mengkritik tentang ciri ekslusif yang menilai bahwa sikap ini penting sebagai prinsip lakum dinukum waliyadin. Sekali lagi blunder dalam memahami sikap ekslusif. Ekslusif berarti tidak mau menerima keragaman dan anti perbedaan. Umat Islam tidak ekslusif. Bahkan rasulullah pergaulannya sangat terbuka dan menerima perbedaan sebagai sunnatullah. Jangan jadikan ayat lakum dinukum waliyadin sebagai pembenaran sikap ekslusif, itu sangat blunder!.
Kelima, Amirsyah juga mengkritik kriteria penceramah radikal yang memliki pandangan anti budaya dan anti kearifan lokal. Pada poin ini justru ingin mengajak dakwah harus menghormati kebudayaan dan kearifan lokal sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo. Dakwah yang membuat gaduh dengan mengharamkan, membid’ahkan dan mengkafirkan kearifan budaya adalah corak yang paling umum para pembuat gaduh di tengah masyarakat. Siapa yang blunder?
Pada poin akhir, nampaknya Amirsyah sangat arif dengan memberikan saran agar BNPT tidak mencampuri urusan soal agama yang bukan domainnya karena bisa salah paham dan gagal paham. Persoalannya, isu terorisme sering menggunakan term agama sebagai justifikasi pembenaran tindakannya. Apa artinya biarkan kelompok radikalisme dan terorisme yang menggunakan dan mempolitisir agama dan sebaiknya BNPT diam untuk tidak mencampuri itu?
Sejatinya, penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh BNPT sudah melibatkan banyak pihak termasuk Kementerian Agama bahkan MUI. Dalam banyak pemberintaan BNPT juga telah membentuk Gugus Tugas Pemuka Agama dan FKPT di 32 Provinisi yang terdiri dari para tokoh agama dan masyarakat. Jika demikian, apakah yang terhormat Amirsyah memang ingin BNPT diam untuk tidak mencampuri agama dan membiarkan kelompok radikalisme dan terorisme yang berbicara agama?
Comments