Ina sedang duduk bersama teman-temannya di salah satu warung kopi yang berada di persimpangan jalan Suka Maju. Mereka memesan mie rebus karena cuaca yang sedari tadi tidak bersahabat alias hujan. Pak Mamat yang gemar melihat berita di salah satu stasiun televisi, menghidupkan dan mengeraskan volumenya, membuat gadis yang masih duduk di bangku kelas sebelas itu menyipitkan mata.

“Bapak lagi nonton apa?” tanya gadis itu sembari meminum teh tarik yang sebelumnya sudah dipesan.

“Itu, kamu lihat sendiri. Pemerintah sekarang benar-benar kurang ajar! Mereka melarang siswa pakai jilbab. Padahal di dalam Islam menggunakan Jilbab itu wajib,” jelas Pak Mamat dengan ekspresi kesalnya.

Ina tertawa dengan keras, membuat teman-temannya yang lain heran termasuk Pak Mamat. “Kamu kenapa tertawa seperti itu? Apakah kamu propemrintah? Secara kamu juga nggak pakai jilbab padahal kamu sendiri Islam,” sindir laki-laki yang bertubuh kurus itu.

“Karena pernyataan Pak Mamat lucu bagiku. Menggunakan jilbab atau tidak adalah hak setiap orang, Pak. Jika kita memaksakan keinginan kita kepada orang lain, apalagi seperti kasus yang di TV itu, bukankah itu perbuatan yang melanggar HAM? Jangan sedikit-sedikit mengatasnamakan Islam jika kita tidak tahu duduk perkaranya seperti apa. Sebagian orang mengatakan jilbab itu wajib, lantas jika wajib kenapa tidak ada dalam rukun Islam? Hayo, Bapak bisa jawab?” ucap Ina sembari menyindir Pak Mamat.

“’Dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 59 Allah berfirman dengan arti: Wahai nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang mukmin. ‘Hendaklah mereka menutup jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’, yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.’ Kamu sendiri paham mengena itu, Ina,” ucap Ucup sembari menyebutkan salah satu penggal ayat Al-Quran mengenai jilbab.

“Kamu ngaji nggak? Masa kamu nggak tahu hal gituan,” sindir Pak Mamat.

Ina hanya diam dan menyantap sisa mie yang ada, lalu gadis itu meminum air putih dan melap bibirnya dengan tisu. Ia melihat satu per satu temannya.

“Jadi, pembahasan ini sangat sensitif sekali. Aku takut akan menimbulkan pemahaman-pemahaman atau ketidaksukaan. Lebih baik, aku tidak membahasnya dengan kalian,” ungkap Ina sembari memegang tasnya. Terlihat gadis itu tidak mau berdebat dengan teman-teman yang lain.

Ucup yang dari dulu memiliki pemahaman yang berbeda dengan Ina, menahan gadis itu dan memintanya untuk menjelaskan alasannya tidak menggunakan jilbab selepas pulang sekolah.

“Baiklah, aku akan menjelaskan kepada kalian alasanku tidak menggunakan jilbab. Satu, dalam Islam menggunakan jilbab itu tidak wajib,” ucap Ina sembari melihat ke arah teman-temannya.
“Tidak wajib bagaimana? Sudah jelas-jelas ayat yang dibacakan oleh Ucup tadi dikatakan wajib,” ucap Pak Mamat sembari mengecilkan volume TV.

“Apakah Bapak dan kalain sekalian tidak tahu beda WAJIB dan DIPERINTAHKAN atau DISURUH atau HENDAKLAH? Dalam surat Al-Ahzab Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada istri, anak, dan istri orang mukmim untuk menggunakan jilbab. Di sana ada kata “Hendaklah” bukan “Wajib”. Di sana saja kita sudah salah pemahaman dalam menyikapi firman Allah. Apakah kalian ingin bukti untuk membedakan, mana yang Allah perintahkan dan mana yang Allah wajibkan?” tanya Ina sembari menaikkan salah satu alisnya. Semua pun mengangguk dan tidak membantah perkataan Ina.

“Dalam surat Al-Baqarah ayat 183 Allah berfirman. ‘Wahai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas engkau berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum engkau, agar engkau bertakwa’. Apakah sudah telihat bagi kalian antara diwajibkan dan diperintahkan oleh Allah? Kenapa aku bilang di awal mengenai rukun Islam. Kita lihat lima bulir rukun Islam. Satu mengucapkan dua kalimat Syahadat. Dua, salat lima waktu sehari semalam. Tiga, berpuasa pada bulan Ramadan. Empat, membayar zakat. Dan lima, naik haji bagi yang mampu. Lima bulir di atas adalah tonggak umat islam dan itu adalah hal yang diwajibkan. Paham?”

“Lalu, bagaimana dengan hadis-hadis yang ada? Bukankah jika ada beberapa hadis ada yang mengatakan bahwa anak perempuan akan memberi dosa kepada ayahnya jika tidak menggunakan jilbab?” tanya Dion.

“Jika mengenai hadist, aku tidak terlalu ambil pusing karena hadis sekarang banyak yang dipalsukan demi kepentingan sekelompok tertentu. Dan juga, terlepas wajib atau tidaknya menggunakan jilbab. Cukup perkarakan saja sesama umat Islam. Umat lain jangan dipaksakan,” terang Ina.

“Kenapa?”

“Sejatinya agama Islam itu memiliki arti damai. Jika kita tidak bisa membawa kedamaian kepada semesta, jangan menganggap diri kita Islam. Dan juga, apakah kalian tidak memikirkan dampaknya untuk mereka yang beragama di luar Islam?”

“Apa dampaknya? Bagi Bapak tidak ada dampaknya? Seperti perkataan Bapak itu, ‘kenapa baru sekarang bersuara? Kenapa tidak sedari adanya peraturan itu? Bukankah sudah memasuki lima belas tahun?’ Dan juga, wilayah itu adalah penganut islam yang banyak, jika tidak suka, kenapa tidak keluar saja dari sana? Cari wilayah baru?” ungkap Pak Mamat, seperti memasukkan dan menambah-nambah hal yang sebenarnya tidak ada.

Ina menggaruk lehernya yang gatal karena alergi telur. “Oh, itu. kenapa baru sekarang bersuara? Karena sekarang zaman digital, segala sesuatu akan viral. Dan juga, sudah ada yang mencoba menyuarakan, tetapi seperti yang Bapak bilang, tidak ada tanggapan sama sekali. Bahkan, mereka yang menentang akan dikucilkan. Mereka yang ingin bersekolah, mau tidak mau harus menggunakan jilbab. Jika tidak, ya, tidak akan diterima.

“Oh, wilayah dengan penganut islam yang banyak, ya? Ini asli Bapak itu yang ngomong, atau Pak Mamat yang menambahkan?” sindir Ina, “kita hidup di Indonesia, Pak. BINEKA TUNGGAL IKA. Berbeda-beda tetap satu juga. Kalau tidak suka ikut aturan Indonesia, cari aja negara baru,” ungkap Ina yang membuat Pak Mamat tertohok.

Teman-temannya yang lain hanya mengangguk dan tidak banyak komentar. Mereka semua tahu jika gadis itu adalah putri dari seorang ustaz, tentu ilmu agamanya lebih dalam dari mereka semua.

“Dan juga, Alhamdulillah keluargaku tidak menyuruh dan memaksaku memakai jilbab. Karena bagi mereka, hak menggunakan atau tidaknya itu ada padaku. Asalkan bajuku sopan dan tidak keluar dari aturan berpakaian layaknya gadis remaja di Indonesia berpakaian, sudah cukup. Hm … papaku juga mengatakan bahwa apa yang diperintahkan oleh Allah adalah hal yang baik untuk kita semua. Hm … dan satu lagi, Allah menciptakan kita bersuku-suku dan beragama-agama. Maka dari itu, pentingnya saling menghargai satu sama lain.”

Pak Mamat hanya mengangguk sembari mencermati perkataan Ina. “Sebelum aku pergi. Aku menentang penggunaan jilbab kepada siswa. Bayangkan saja Ucup, Dion, dan Ray pakai jilbab. Hahaha! Nggak kebayang,” ungkap Ina sembari menaruh uangnya di atas meja, lalu pergi duluan ke arah sepeda motornya. Membuat empat laki-laki yang ada di warung itu terheran.

“Maksud kamu gimana, Na?” ucap Ucup dengan nada keras.

“MAKANYA, BUDAYAKAN MEMBACA DAN MEMAHAMI BAHASA INDONESIA! AGAR TIDAK SALAH PENGERTIAN DIKEMUDIAN HARI!” balas gadis itu.

Tiba-tiba, pesan singkat masuk ke ponsel Ucup. Laki-laki itu pun melihatnya. Sedikit tertawa ketika laki-laki itu membaca pesan dari Ina.

[Siswa merujuk kepada murid laki-laki, sedangkan siswi merujuk kepada murid perempuan. Emang kamu mau pakai jilbab? Mau jadi perempuan gitu? Idih! Aku mah amit-amit punya teman laki-laki yang pakai jilbab!]

Agamaku Biarlah Menjadi Urusanku dengan Tuhan

Previous article

Berkah Imlek di Masa Pandemi Covid 19

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini