Oleh: Yui
Minggu pagi, Nusa dan Tara berencara joging di Desa Melati bersama teman-teman baru mereka. Selain ingin memanjakan mata, mereka berdua ingin melihat suasana desa sebelah. Tentu ada rasa ingin tahu, apalagi mereka berdua belum lama pindah ke Desa Kembang.
“Kakak, apakah masih lama? Teman-teman yang lain sudah menunggu di balai desa!” tanya Tara dengan suara melengking dari arah luar. Gadis tomboi itu sudah melakukan peregangan.
“Sudah, sudah,” Nusa menghampiri sang adik, “Mama, Papa, Nusa dan Tara pergi dulu!”
Setelah mendengar sahutan dari dalam, kakak beradik itu pergi dari rumah dan melangkah ke balai desa yang tidak jauh dari rumah. Sekitar lima menit berlari-lari kecil, mereka sampai. Terlihat sudah ada Ina dan Sia, serta Tio dan Koko. Empat manusia itu adalah teman baru Nusa dan Tara.
Enam manusia itu kembali melakukan peregangan badan sambil bercerita random mengenai desa yang akan dituju. Koko, salah satu keturunan Cina, memberi tahu mereka semua bahwa penduduk Desa Melati lebih banyak dari penduduk Desa Kembang.
Merasa cukup, mereka memutuskan untuk pergi. Berlari-lari kecil sambil menyapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang hendak pergi ke sawah, adalah hal sederhana yang mereka lakukan. Selain masih remaja, tentu mereka tidak ingin dicap sombong, apalagi dengan status Nusa dan Tara yang merupakan anak kepala desa yang baru ditunjuk. Setidaknya, mereka harus menjaga marwah orang tua mereka di lingkungan baru.
“Tara! Tara!” panggil Ina yang menghentikan langkah, “aku lapar.”
Tara yang berada di depan, menghentikan langkah dan membalikkan tubuh. Ia melihat Ina yang sedang mengelap peluh-peluh yang bercucursan. Ia tersenyum kecil melihat tingkah Ina. Padahal, belum sampai lima belas menit mereka joging, peluh-peluh sudah membasahi baju kaus gadis itu.
Tara bertepuk tangan dengan kuat sambil memanggil yang lain. Ia menyuruh sang kakak dan yang lain untuk berhenti dan beristirahat terlebih dahulu. Lalu, ia edarkan pandangan, melihat-lihat warung makanan yang buka. Tidak terlalu lama mencari, ia melihat satu warung yang menjual sarapan pagi di sisi kanan, seberang jalan.
Tara melangkah ke arah Ina, lalu menggandeng gadis itu hingga ke warung. Di sana, ia melihat beberapa ibu-ibu yang menggunakan baju seragam tengah duduk di meja sebelah kiri. Ia dan Ina memilih meja sebelah kanan, diikuti yang lain.
“Mau pesan apa, Dek?” tanya pemilik warung dengan ramah kepada mereka berenam.
Satu per satu dari mereka memesan makanan. Setelah itu, sibuk dengan ponsel masing-masing, kecuali Tara dan Nusa. Kakak beradik asyik menikmati goreng tahu yang dihidangkan oleh pemilik warung. Sesekali, Tara melirik ke arah ibu-ibu yang tengah berbicara dengan nada tinggi dan menggebu-gebu.
“Intinya jangan pilih si Marni. Selain tidak ada uang, dia juga tidak bersosialisasi dengan masyarakat di sini. Pilih saja Lastri anak Pak Danang. Sudah cantik, baik, berpendidikan, taat agama, suka membantu orang,” ucap salah satu ibu-ibu yang memakai kacamata.
“Iya, benar. Kemarin saja, aku ke rumah si Marni, banyak laki-laki yang ada di rumahnya. Jangan-jangan itu wanita suka main belakang dengan pria hidung belang,” timpal yang lain.
Tara mendengar itu, terlihat mengernyitkan dahi. Saat pemilik warung menghidangkan makanan, gadis itu dengan polos bertanya perihal yang terjadi. Tentu ia bertanya dengan pelan agar tidak terjadi kegaduhan. Bukannya menjawab, pemilik warung hanya mengangkat bahu, seolah-olah enggan untuk menjawab.
Tujuh menit berlalu, ibu-ibu berseragam itu pun pergi dari sana setelah membayar makanan. Tara yang sudah selesai menyantap sarapan, memilih duduk, menunggu yang lain selesai sarapan. Ia pun mengangkat kepala, melihat pemilik warung mendekatinya.
“Maaf tadi Ibu tidak bisa menjawab pertanyaan kamu, Nak. Ibu takut diserang sama pendukung Lastri,” ungkap Ida yang langsung duduk di bangku kosong.
“Memangnya ada apa, Bu?” tanya Nusa yang belum selesai sarapan.
“Ibu-ibu tadi merupakan tim sukses dari wanita dalam baliho itu. Mereka bertugas di lapangan untuk berkampanye agar wanita bernama Lastri terpilih menjadi Kepala Desa di sini. Padahal, warga di sini tahu mengenai perilaku Lasti yang sombong dan juga angkuh. Lastri baik hanya di depan kamera,” ungkap Ida dengan mata tetap waspada karena takut yang ada mendengar.
“Mereka semua sibuk berkampanye dengan cara menjelek-jelekkan calon lain. Padahal, calon yang mereka entah seperti apa,” tambah Ida dengan logatnya.
Tara yang mendengar itu hanya menghela napas, lalu membasahi bibir yang basah. “Sebenarnya, tidak perlu menjelek-jelekkan calon lain untuk mencari simpati masyarakat. Sampaikan visi dan misi, lalu apa yang ingin dilakukan saat terpilih nanti. Bukankah begitu, Teman-Teman?”
“Benar, Tara!” Ina mengacungkan jempol, “dan juga, Ibu jangan ikut-ikutan seperti mereka dengan menjelek-jelekkan calon itu. Jika Ibu menjelekkan mereka, apa bedanya Ibu dengan mereka?”
“Hush, kamu!” tegur Nusa, membuat Ina menutup mulut. “Maafkan teman adik saya, ya, Bu. Akan tetapi, yang dikatakan Ina benar. Lebih baik fokus dengan pasangan yang didukung. Toh, manusia tidak ada yang sempurna, pasti ada kekurangannya. Maka dari itu, lebih baik ciptakan pemilihan kepala desa yang aman, damai, dan tentram.”
“Iya, Nak. Ibu paham. Ibu hanya bicara dengan kalian saja karena telinga Ibu sudah tidak tahan mendengar ucapan mereka tadi,” ungkap Ida yang tidak mengambil hati ucapan Ina, “Ibu juga minta maaf jika salah ucap. Maklum, terbawa emosi.”
“Ya sudah, tidak apa-apa, Bu. Jadi, berapa semua total makan kami hari ini, Bu?” tanya Nusa yang langsung dihitung oleh Ida.
Setelah membayar, mereka semua pun pergi dari warung tersebut untuk melanjutkan joging.
Indonesia, 25 Januari 2024
Comments