Penulis : Imam Santoso
Heboh penolakan Imigrasi Singapura terhadap penceramah kondang asal Indonesia, Ustad Abdus Somad atau yang akrab dipanggil UAS. Beberapa tokoh minta pemerintah Singapura memberikan penjelasan terkait kejadian ini agar tidak menggangu kerjasama bilateral dan regional. Sebegitu berdampakkah penolakan itu terhadap kerjasama antara negara Indonesia-Singapura?
Sejatinya, penolakan kedatangan warga asing oleh suatu negara adalah murni hak prerogative negara tersebut. Pemerintah Indonesia tentu tidak bisa melakukan intervensi terhadap kebijakan tersebut. Apalagi Pemerintah Singapura mempunyai alasan yang tidak hanya didasarkan pada asumsi belaka.
Pada akhirnya, Kementerian Dalam Negeri Singapura memberikan beberapa alasan terkait penolakan kedatangan UAS dan rombongan. Menurut rilis yang dikeluarkan bahwa Somad dikenal sebagai penceramah ekstremis dan mengajarkan segregasi, yang tidak dapat diterima dalam masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura. Misalnya, Somad telah mengkhotbahkan bahwa bom bunuh diri adalah sah dalam konteks konflik Israel-Palestina, dan dianggap sebagai operasi ‘syahid.
Ditambahkan pula : “Dia juga membuat komentar yang merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen, dengan menggambarkan salib Kristen sebagai tempat tinggal ‘jin (roh/setan) kafir’. Selain itu, Somad secara terbuka menyebut non-Muslim sebagai ‘kafir’ (kafir),”.
Keseluruhan alasan ini berdasarkan pantauan jejak digital penceramah UAS yang memang kerap menimbulkan kontroversi. Jejak digital itulah yang dijadikan dasar dan tentu saja kajian verifikasi lebih jauh terhadap sosok UAS dalam kacamata Singapura. Dan tentu sebuah kebijakan yang dalam perspektif negara tersebut sebagai Langkah pencegahan yang tidak mau berkompromi dan memberikan ruang bagi tokoh yang kerap menyebarkan intoleransi, segregasi dan ekstremisme.
Singapura yang memiliki penduduk multi ras dan etnik memandang ceramah yang mengedepankan pada segregasi berdasarkan agama tidak bisa ditolerir. Apalagi dalam pantauan mereka UAS dalam jejak digitalnya pernah menyampaikan ceramah yang mengarah pada ekstremisme kekerasan.
Kebijakan itu tentu diambil sebagai Langkah pencegahan sejak dini yang memang terkenal ketat di negara tersebut. Tentu akan berbeda di Indonesia yang pencegahan hanya dimulai pada pencegahan aksi kekerasan, bukan pada paham yang mengarah pada kekerasan. Singapura sedikit lebih depan dalam mengantisipasi kemungkinan paham dan ideologi yang mengarah pada kekerasan dengan melakukan pengawasan dan pelarangan yang lebih ketat.
Tentu saja, jika belajar pada aksi terorisme, semuanya tidak berjalan secara instans dan tiba-tiba. Ada fase seseorang mengalami indoktrinasi dengan paham dan pandangan yang ekstrem. Tidak memberikan ruang bagi tokoh dan ideolog yang menyebarkan paham yang mengarah pada kekerasan merupakan salah satu strategi yang juga patut dipelajari oleh Indonesia.
Jejak digital para penceramah menjadi cukup menjadi perhatian oleh beberapa negara. Tentu tidak hanya Singapura. Negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan sebagainya memiliki konsen yang sama terhadap materi ceramah para dai. Ceramah yang dianggap mengarah pada segregasi, ekslusivisme dan ekstremisme di negara multi ras dan etnik tidak akan bisa ditolerir.
Pada akhirnya, penolakan terhadap UAS di negara Singapura dengan alasan yang sudah disampaikan tentu tidak akan menganggu hubungan dan kerjasama Indonesia-Singapura. Kebijakan penolakan terhadap UAS dan rombongan juga bukan kunjungan kenegaraan yang berdampak sistemik terhadap kedua negara. Apalagi kedatangan UAS dan rombongan menurut Pihak Singaura berpura-pura untuk kunjungan sosial, tetapi untuk kepentingan yang lain.
Comments