Ust. Baitul Rohmi
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs, al-Rum, 30: 30).
Syawal merupakan bulan yang sangat istimewa. Di antara keistimewaan bulan Syawal adalah bulan silaturrahmi untuk memperkuat hubungan sosial. Di Indonesia, silaturrahmi ini biasanya disebut Halal bi Halal. Halal bi Halal bagi bangsa Indonesia merupakan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita yang digali dari bumi pertiwi tercinta ini. Meskipun acara semacam ini termasuk tradisi, tetapi manfaat dan maslahatnya besar sekali. Salah satu hikmah yang dapat kita petik lewat halal bi halal ini ialah terciptanya ukhuwah, terjalinnya persaudaraan ynag lebih akrab di antara sesama. Terlebih di bulan syawal ini kita mesti meningkatkan kualitas kemanusiaan kita karena syawal artinya berkembang, tumbuh atau peningkatan.
Islam adalah agama sosial yang menempatkan kemanusiaan sebagai nilai utama. Inilah misi sekaligus karakter Islam turun ke muka bumi untuk membimbing manusia menjadi manusia seutuhnya, sebagai manifestasi dari universalitas Islam rahmattan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam. Islam hadir untuk menjadi panduan bagi manusia untuk mengukuhkan eksistensi dan fitrahnya sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya di dunia. Fitrah atau kesucian asal manusia adalah sebutan untuk rancangan Tuhan mengenai kita. Bahwa kita diciptakan Allah dengan rancangan sebagai makhluk suci yang sakral.
Manusia pada dasarnya adalah suci. Oleh karenanya sikap-sikap manusia pun selayaknya menunjukkan sikap-sikap yang suci. Terutama terhadap sesama manusia. Maka kemudian ada ungkapan bahwa manusia itu suci dan berbuat suci kepada sesamanya dalam bentuk amal saleh.
Fitrah terkait dengan hanìf. Artinya suatu sifat dalam diri kita yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran. Dalam firman Allah disebutkan bahwa agama yang benar tidak lain adalah asal kesucian manusia yaitu fitrah. Dalam surat al-Rum ayat 30, Allah berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum, 30).
Tahun boleh berganti, zaman boleh berubah. Milenium boleh bertukar dari milenium kedua sampai ketiga. Tapi manusia tetap sama selama-lamanya sesuai dengan desain Allah swt. Manusia merupakan makhluk yang selalu merindukan kebenaran dan akan merasa tenteram apabila mendapatkan kebenaran itu. Sebaliknya, kalau dia tidak mendapatkannya, manusia akan gelisah.
Bulan Ramadan, yang baru saja kita lalui adalah bulan pembakaran dosa. Nabi menjanjikan kalau kita berhasil melewati Ramadhan, maka seluruh dosa kita yang lalu akan diampuni oleh Allah swt. Dan konsekuensinya pada waktu kita selesai berpuasa, yaitu pada tanggal 1 Syawal, kita ibarat dilahirkan kembali (born again). Kembalinya fitrah kepada kita, dan kita pun harus tampil sebagai manusia suci dan baik in optima forma, sebaik-baiknya kepada sesama manusia, juga kepada sesama makhluk. Itulah sebetulnya semangat Idul Fitri. Allah berfirman di dalam kaitannya dengan Idul Fitri itu, “Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS Al-Baqarah, 185).
Kita lahir dalam kondisi fitrah. Berarti kita lahir dalam kesucian. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bahagia. Ini bisa dilihat bagaimana agama kita mengajarkan bahwa kalau anak meninggal sebelum akil baligh, maka dia masuk surga, karena masih dalam kesucian. Karena itu juga, kita perlu terus ber- husn-u ‘l-zhann (prasangka baik) bahwa pada dasarnya manusia itu adalah baik sebelum terbukti jahat.
Oleh karenanya pergaulan manusia harus mendahulukan husn-u ‘l-zhann (prasangka baik). Tidak boleh mendahulukan syû`u ‘l-zhann (prasangka buruk). Akan tetapi karena kelemahan kita itu mudah tergoda, sehingga sedikit demi sedikit, diri kita menumpuk debu-debu dosa, dan membuat hati kita menjadi gelap. Padahal semula terang yang disebut nûrânì dan berarti cahaya. Tapi lama-kelamaan menjadi gelap sehingga menjadi zhulmânì, dari kata zhulm yang artinya gelap.
Itulah sebabnya Allah menyediakan bulan Ramadhan supaya kita sempat mensucikan diri. Membuat diri kita kembali suci. Sehingga bulan Ramadhan bukan saja bulan suci tetapi bulan pensucian. Dan kalau kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan iman, yatu dengan penuh percaya kepada Allah swt dan ihtisâb, yang berarti mawas diri, menghitung diri sendiri atau introspeksi, yaitu kesempatan bertanya dengan jujur siapa kita ini sebenarnya, apakah betul kita ini orang baik dan seterusnya.
Karena sebetulnya kita semua tidak sanggup berbuat baik, maka kita harus cukup rendah hati bahwa kita berbuat baik inipun adalah sebagai rahmat Allah dan dengan rendah hati mengucapkan Lâ hawlâ walâ quwwata illâ bi ‘l-Lâh, tidak ada daya dan tenaga kecuali dengan izin Allah. Karena kita berhasil menjalani puasa selama satu bulan, maka kita harus bersyukur kepada Allah. Oleh karena itu bacaan yang paling dianjurkan dalam hari raya ialah takbir, tahmid dan tahlil, yaitu ucapan Allâhu akbar, ucapan al-hamd-u li ‘l-Lâh dan ucapan Lâ ilâh-a illâ ‘l-Lâh.
Demikianlah, Ramadhan bulan membakar semua dosa, syawal bulan peningkatan amal dan idul fitrih kembali fitrah. Mudah-mudahan kita mampu mengisi dan memanfaatkan sisa hidup kita ini dengan sebaik-baiknya. []
Ust. Baitul Rohmi, guru ngaji di Pondok Aren, Bintaro, Jakarta Selatan.
Comments