“With guns you can kill terrorist.
With education you can kill terrorism”.
Malala Yousafzai

Pasca peristiwa 9/11 yang melanda Amerika Serikat, kekhawatiran terhadap terorisme semakin meningkat. Aksi terorisme sebenarnya bukan fenomena baru dalam sejarah global, namun sejak dikampanyekan oleh George W. Bush melalui agenda War On Terror, fenomena ini menjadi perhatian banyak negara.


Secara defenisi, para ahli tidak atau belum menemukan pengertian yang clear apa itu terorisme, mengingat kompleksnya latar belakang, bentuk aksi, pendorong maupun aktornya. Walaupun banyak kalangan menanggap motivasi utamanya adalah politik, namun tidak sedikit pula yang menganggapnya sebagai tindakan kriminal biasa.


Tidak sedikit dunia akademis mencoba membahas terorisme berdasarkan ragam kajian dan latar belakang keilmuan yang berbeda. Salah satunya di tinjau dari perspektif Hubungan Internasional (HI). Studi HI adalah bagian dari rumpun ilmu politik. Untuk mengkaji terorisme dalam studi HI, tidak dapat dilakukan tanpa mengupas paradigma utama dalam studi HI. Tujuannya adalah mengkaji perspektif yang ditawarkan oleh paradigma-paradigma tersebut terhadap karakter, jejaring dan strategi anti/kontraterorisme. Beragamnya paradigma yang akan coba diulas tentu akan melahirkan perbedaan cara pandang dan stategi dalam penanggulanggannya. Paradigma yang akan dikaji adalah realisme, liberalisme dan konstruktivisme.

Realisme

Realisme adalah paradigma dominan dalam studi HI dimama asumsi utamanya adalah : negara adalah aktor utama atau state centric, aktor tunggal, bersifat rasional dan dalam situasi politik internasional yang anakis menyebabkan negara selalu berupaya meningkatkan power-nya, sehingga isu keamanan menjadi isu utama (high politic).


Secara tradisional realisme memandang terorisme tidak dilakulan oleh aktor non negara karena penekanannya fokus pada hubungan antar negara. Aksi terorisme dikonsepsikan pada ancaman terhadap negara dan harus diperlakukan sebagai perang asimetris. Realisme beranggapan terorisme adalah proxy war dalam artian dilakukan oleh negara dalam mengejar power dan upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai alternatif dari perang konvensional. Realisme berasumsi terorisme adalah perpanjangan tangan negara dalam upaya struggle for power.


Realisme melihat terorisme internasional bukan hanya aksi individu, melainkan disponsori oleh negara. Sehingga, terorisme tidak terpisah dari negara berdaulat. Oleh karena itu kaum realis memandang Al Qaeda tidak terpisah dari Taliban-Afghanistan, Hizbullah dikontrol oleh Suriah dan Palestine Islamic Jihad bagian dari Otoritas Palestina.


Konsepsi terorisme sebagai perpanjangan tangan negara membuat strategi kontraterorisme bersifat militeristik (fully militerised response). Strategi kontraterorisme yang dilakukan negara menurut pandangan realis tidak hanya membantu otoritas sipil, tetapi juga tidak ragu menggunakan militer untuk mencegah, mengendalikan eskalasi dan mengeliminasi jejaring teroris, termasuk negara sponsor. Upaya-upaya ini dilakukan dengan langkah ofensif. Hal ini disebabkan karena pandangan realis yang menganggap jejaring teroris berkaitan langsung dengan negara berdaulat dan mengancam keamanan nasional.

Liberalisme
Liberalisme adalah pesaing klasik realisme. Asumsi-asumsi yang diusung sangat berbeda dengan realisme. Asumsi utamanya yaitu dalam dunia internasional, liberalisme mengakui kehadiran aktor non negara, sehingga membuat negara tidak lagi menjadi aktor tunggal. Liberalisme menekankan pentingnya kerjasama antar negara dan aktor-aktor non negara untuk mengurangi kecenderungan konflik internasional.


Dalam memandang terorisme, kaum liberalis menganggapnya sebagai aksi kejahatan terhadap kemanusiaan/penduduk sipil. Liberalisme cenderung melihat fenomena terorisme sebagai akibat dari suatu gejala seperti tekanan rezim diktatorial yang mengekang hak-hak sipil. Karena liberalisme mengakui peran aktor non negara, fenomena terorisme disimpulkan sebagai jaringan transnasional dan tidak terikat dengan negara sponsor tertentu.

Upaya strategi kontraterorisme, liberalisme menekankan pentingkan penegakan hukum (law enforcement). Hal ini dilakukan karena aksi terorisme dianggap permasalahan kriminal. Langkah-langkah kontraterorisme dilakukan dengan membentuk kerjasama internasional dan multilateral dalam konteks hukum dan organisasi internasional. Upaya-upaya penegakan hukum selalu mengutamakan perlindungan HAM. Sebagai strategi jangka panjang, kaum liberal mempromosikan demokrasi dan pendekatan diplomasi.

Konstruktivisme
Konstruktivisme menekankan pentingnya peran ide-ide dan kekuatan non material dalam membentuk politik global. Konstruktivisme menjelaskan bagaimana makna dan realitas material dikonstruksi oleh gagasan-gagasan dan interpretasi kolektif, misalnya melalui bahasa, pengetahuan, simbol dan aturan-aturan. Kaum konstruktivis berasumsi bahwa semua realitas sosial adalah hasil konstruksi, bukan by given.


Oleh karena itu, kaum konstruktivis memandang terorisme sebagai produk diskursus dan maknanya dikonstruksi secara sosial. Dengan demikian, terorisme bisa dikonstruksikan sebagai apapun, bisa perang, tindakan kriminal, aktivitas politik, komunikasi hingga ritual agama. Karena terorisme dipandang sebagai hasil diskursus dan dikonstruksikan, maka strategi kontraterorisme yang dilakukan bergantung pada konstruksi terorisme itu sendiri. Misalnya dengan menggunakan upaya ofensif dan represif jika konstruksi terorisme dinilai menjadi ancaman terhadap keamanan nasional. Sebaliknya, upaya yang lebih lunak dilakukan jika makna terorisme dianggap hanya kejahatan kriminal.

Onriza Putra

Ketika Jurnalisme di Bungkam, Bisakah Media Sosial Bicara?*

Previous article

Strategi Provokator Dalam Memanfaatkan Momen Aksi Unjuk Rasa

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Edukasi