Penulis Inke Indah Fauziah
Masyarakat kini dituntut untuk semakin mampu menjaga etika dalam berbicara di ruang publik, terlebih di media sosial. Pasalnya, jika mereka salah mengucapkan pernyataan yang dapat menyinggung dan melukai perasaan orang lain, tak menutup kemungkinan akan berujung pada meja hijau. Banyak pelajaran dan kasus terjadi pada akhirnya berurusan dengan sangsi undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Bukan hanya persoalan menyinggung dan melukai perasaan seseorang, namun banyak permasalahan yang bermunculan karena ucapan yang berbau SARA, hate speech (ujaran kebencian) dan juga hoaks dapat memprovokasi terjadinya segregasi dan perpecahan yang dapat merusak persatuan bangsa. Berawal dari kurang bijaknya bermedia sosial, seluruh masyarakat menanggung akibat dari ulah jari dan lisan.
Sebenarnya jika masyarakat mau bijak dalam menggunakan social media, sejatinya media ini dapat bermanfaat untuk berbagai keperluan yang dibutuhkan sehari-hari. Namun sayangnya, saat ini begitu banyak konten di media sosial yang sudah keluar dari etika dalam berinteraksi di media. Media sosial justru menjadi ladang dan lahan subur tumbuh kembangnya kebencian, fitnah bahkan ajakan kekerasan dan radikalisme.
Seperti kasus yang baru-baru ini yang banyak dibicarakan publik, yakni penangkapan Habib Bahar bin Smith sebagai tersangka kasus penyebaran ujaran kebencian melalui ceramahnya. Dan juga Cuitan Ferdinand Hutahaean di media sosial yang menyebut “Allahmu ternyata lemah”, yang berujung laporan polisi. Dengan laporan yang diterima oleh pihak kepolisian, Bahar bin Smith maupun Ferdinand Hutahaean berbuntut pemeriksaan oleh pihak kepolisian.
Dengan informasi dan bukti yang sudah dikantongi kepolisian, Bahar pun ditahan dan Ferdinan harus menjalani beberapa pemeriksaan atas dugaan menyebarkan informasi bermuatan SARA dan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat.
Dua kasus di atas hanya bagian kecil dari drama kejam bermedia sosial yang dapat membuat kegaduhan dan hilangnya kerukunan bangsa. Karena itulah, perlunya edukasi dalam menggunakan media sosial, supaya masyarakat tidak lagi sembarangan dan seenaknya berbuat hal yang tidak menyenangkan dan menganggap ruang maya tanpa aturan. Mereka harus mengetahui konsekuensi dalam bersosial media, bukan hanya tindakan hukum, tapi juga bisa hukuman social yang mereka dapatkan.
Pertama, masyarakat harus memahami sejatinya media sosial adalah lingkungan yang hampir sama dengan lingkungan masyarakat. Jika di masyarakat ada norma, aturan dan sangsi hukum, di media sosial pun demikian. Ada etika, norma dan aturan agar kita bisa bertanggungjawab terhadap persoalan di media sosial.
Kedua, memahami karakter media sosial sebagai ruang cepat dan instan. Penting di sini masyarakat memahami kecepatan media sosial dan jangakuannya. Dengan karakter seperti ini masyarakat harus menyadari ada konsekuensi yang harus menjadi tanggungjawab ketika menyebarkan konten. Satu kalimat bisa menyebar kejutaan masyarakat. Karena itulah, berilah konten yang bermanfaat bukan yang membawa mudharat.
Ketiga, memahami hakikat kebenaran di media sosial. Terkadang masyarakat mudah terkelabui dengan kata viral. Seolah yang viral adalah sebuah kebenaran. Padahal, sejatinya kebenaran di media sosial membutuhkan proses verifikasi dan filterisasi. Tidak semua yang muncul di media sosial apalagi yang viral adalah sebuah kebenaran. Proses verifikasi inilah yang menjadi tantangan bagi kita sehingga selalu menelan mentah-mentah apa yang viral dan menjadi standar kebenaran.
Karena itulah, dari hari ini memutus ujaran kebencian di media sosial harus dimulai dari diri kita sendiri. Jika tidak ada jari kita tentu saja ujaran kebencian tidak akan viral dan menular. Marilah focus pada ujaran yang mencerdaskan dan bermanfaat bagi kepentingan diri dan bangsa.
Comments