Penulis : Suwanto
Sebagaimana biasanya setiap tangga 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebagai bangsa bhinneka yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, momentum ini patut dijadikan sebagai spirit untuk bangkit bersama melawan segala bentuk ideologi transnasional yang dapat mengikis benteng keutuhan NKRI.
Berbicara mengenai ideologi transnasional, memang penyakit kebangsaan ini belum sepenuhnya dibasmi di bumi pertiwi ini. Di antaranya beberapa bulan lalu terendusnya jaringan NII di Sumatera Barat berjumlah sekitar 1200-an orang, dimana 400 diantaranya adalah anggota aktif. Bahkan, yang mengejutkan, 27 diantaranya adalah anak-anak.
Kasus serupa mengenai ideologi transnasional tersebut tentu bukanlah yang pertama kalinya di Indonesia. Masih terekam dalam ingatan tahun lalu juga terjadi tragedi pembaiatan 59 orang di Garut oleh organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Belum lagi kita tentu masih ingat bahwa pada 1999 masyarakat bahkan pemerintah pernah dibuat heboh. Kala itu, Sensen Komara Bakar Misbah yang notabene merupakan pemimpin DI Fillah bersama anggotanya secara terang-terangan menolak terhadap pemilu, dengan alasan bahwa pemilu yang diadakan pada 1999 inkonstitusional dan mengkhianati terhadap Undang-Undang 1945 (Diningrat, 2021).
Berbagai gerakan ideologi transnasional berbalut agama tersebut tentu bukan tuntunan Islam dan juga jatidiri bangsa ini. Mereka justru adalah manusia tuna agama dan penghianat bangsa. Dan ini juga dapat mengancam bangunan kebangsaan, memecah-belah bangsa, dan membuat kerusakan. Ideologi transnasional dan doktrin ini harus segera diberantas supaya tidak menjalar. Adapun strategi yang bisa bangsa ini lakukan untuk melenyapkan berbagai ideologi transnasional adalah dengan empat benteng kebangsaan.
Benteng pertama adalah Pancasila. Dalam hal ini Pancasila sebagai ideologi bangsa janganlah sekedar internalisasi pada tataran pengetahuan teoritis belaka. Namun, juga harus diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan. Ideologi Pancasila merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan yang diamalkan. Pancasila adalah satu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk mewujudkannya. Atau dengan kata lain, apabila seseorang memiliki kesadaran ideologi Pancasila yang mendalam, maka akan semakin tinggi pula rasa komitmennya untuk melaksanakan nilai-nilai ideologi Pancasila. Komitmen itu akan tercermin dalam sikap seseorang.
Benteng kedua adalah UUD 1945. Derivasi nilai-nilai luhur Pancasila tertuang dalam norma-norma yang terdapat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Oleh karena itu, landasan kedua yang harus menjadi acuan dalam pembangunan karakter bangsa sekaligus memberantas radikalisme-terorisme adalah norma konstitusional UUD 1945. Dalam hal pengembangan karakter banhgsa, norma-norma konstitusional UUD 1945 menjadi landasan yang harus ditegakkan, dihayati, dijiwai, serta ditaati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Benteng ketiga adalah komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan yang juga perlu ditegaskan dalam pembangunan karakter bangsa adalah komitmen terhadap NKRI. Karakter yang dibangun adalah karakter yang memperkuat dan memperkokoh komitmen terhadap NKRI, bukan karakter yang berkembang secara tidak terkendali, apalagi menggoyahkan NKRI. Oleh karena itu, rasa cinta terhadap tanah air, nasionalisme, dan patriotisme perlu dikembangkan dalam pembangunan karakter bangsa.
Pengembangan sikap demokratis dan menjunjung tinggi HAM sebagai bagian dari pembangunan karakter harus diletakkan dalam bingkai menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa, bukan untuk memecah belah bangsa dan NKRI (Kaelan, 2012). Ini menjadi penting karena banyak juga kasus generasi bangsa yang terindikasi paham Khilafah dan Fundamentalisme. Itu tentu terjadi karena rapuhnya rasa cinta tanah air dan komitmen terhadap NKRI. Oleh karenanya, sudah sewajibnya generasi bangsa berkomitmen penuh terhadap NKRI.
Benteng keempat adalah Bhinneka Tunggal Ika. Sebagaimana disebutkan Apri Atika Sari (2021) bahwa semboyan ini bertujuan menghargai perbedaan/keberagaman, tetapi tetap bersatu dalam ikatan sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki kesamaan sejarah dan kesamaan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang “adil dalam kemakmuran” dan “makmur dalam keadilan” dengan dasar negara Pancasila dan dasar konstitusional UUD 1945.
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan suatu keniscayaan. Namun, keberagaman itu harus dipandang sebagai kekayaan bangsa, kekayaan yang harus kita syukuri sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan sebagai problem masalah, atau bukan dijadikan sebagai alat terpecah-belah. Hal inilah yang harus disematkan dan dijiwai oleh seluruh generasi bangsa sebagai benteng dari paham radikal dan terorisme. Empat benteng kebangsaan tersebut diharapkan bisa menjadi modal bangsa di momentum Hari Kebangkitan Nasional ini, sehingga mampu menggulung sekaligus melenyapkan berbagai ragam ideologi transnasional, semoga.
Comments