Pada Bulan februari lalu setara institute menyampaikan siaran Persnya terkait Pemerintah yang terkesan tunduk pada kelompok Intoleran di indonesia. Adapun bunyi siaran Pers tersebut Sebagai berikut.
Pemerintah cenderung tidak memiliki keberpihakan terhadap kelompok minoritas yang menjadi korban pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Hal itu dapat dibaca dari pernyataan terbaru Mahfud MD, Menkopolhukam, kepada media. Mahfud mengklaim bahwa kasus penolakan musala di Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara dan penolakan renovasi Gereja Katolik Paroki Santo Joseph Tanjung Balai, Karimun, Kepulauan Riau. Menkopolhukam kepada media menyatakan “Yang ribut kan kadangkala di medsos saja. Seakan-akan mau gempa bumi. Kalau enggak percaya datang saja ke sana,” ucap Mahfud.
Pernyataan tersebut jelas-jelas menunjukkan bahwa Mahfud MD mereduksi persoalan dalam kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi yang menimpa kelompok minoritas agama sebagai korban. Selain itu, Mahfud juga seakan-akan hanya ingin show-off kepada publik dan Presiden bahwa dia melaksanakan perintah Presiden (Rabu, 12/2/2020) untuk menyelesaikan kasus penolakan yang terjadi.
Pemerintah seharusnya mengapresiasi pemberitaan dan diskursus publik yang berkembang di media sosial, sebab media sosial telah membantu pemerintah dalam mengidentifikasi persoalan publik dan mendorong pemerintah untuk menyelesaikan. Media sosial sebagai new media telah melaksanakan fungsi kontrol dengan baik. Maka publik virtual di media sosial harus dibaca oleh pemerintah, khususnya Menkopolhukam, sebagai sarana identifikasi persoalan riil yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan belum mendapatkan penanganan yang memadai.
SETARA Institute ingin mengingatkan Menkopolhukam untuk mengambil langkah strategis dan konkret bagi penyelesaian kasus penolakan renovasi Gereja Katolik Paroki Santo Joseph di Karimun. Menyelesaikan masalah dengan meminta minoritas Katolik disana untuk menunggu putusan PTUN dan menghentikan renovasi merupakan yudisialisasi diskriminasi terhadao minoritas dan ketundukan pada kelompok intoleran.
Jika mengacu pada Peraturan Bersama 2 Menteri (PBM), Gereja Katolik Paroki Santo Joseph di Karimun mestinya tidak memerlukan IMB, karena sudah berdiri pada 1928, jauh sebelum PBM terbit, bahkan sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan. Mengacu pada Pasal 28 Ayat (3) PBM, bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama Menteri, maka Bupati/Walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadah tersebut. Yang terjadi di Karimun, justru sebaliknya, bukan difasilitasi, malah direstriksi dan didiskriminasi, dan sekarang digugat ke PTUN.
Dengan demikian, arahan Pemerintah Pusat agar pihak Gereja dan para pihak di Karimun bersepakat untuk menjaga kondusivitas dengan menghentikan pembangunan dan mengikuti proses hukum yang sedang berlangsung, jelaslah bukan penyelesaian atas masalah intoleransi dan diskriminasi yang dihadapi korban. Dalih ‘menunggu putusan PTUN’ nyata-nyata merupakan tindakan menghindari penyelesaian masalah secara adil untuk minoritas. Apalagi preseden menunjukkan bahwa putusan pengadilan hampir tidak pernah menjadi resolusi yang adil bagi kelompok minoritas. GKI Yasmin di Kota Bogor dan HKBP Filadelfia di Kabupaten Bekasi juga tetap tidak bisa mendirikan gereja, padahal pihak gereja sudah menang dalam proses hukum di pengadilan, hingga tingkat kasasi pada tahun 2011. Sudah 9 tahun putusan yang bersifat inkracht tersebut diabaikan pemerintah daerah. Pemerintah Pusat juga tutup mata atas kasus tersebut. Padahal, hingga Natal 2019 lalu, jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia sudah 8 tahun selalu merayakan Natal di depan Istana Negara.
Demikianlah Siaran Pers yang disampaikan oleh setara institute sebagai masukan kepada pemerintah indonesia yang menjalankan mandat dari rakyat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan tidak memberikan ruang bagi kelompok intoleran untuk tumbuh dan berkembang di indonesia.
Comments