Penulis : Abdul Jamil Mahimmi
Bagi umat Islam, Ramadan adalah bulan untuk melembutkan tutur kata dan perbuatan. Tindakan radikal jelas tidak sejalan dengan spirit dan nilai-nilai puasa Ramadan. Sebab, di bulan nan suci itu terdapat nilai toleransi, perdamaian dan persatuan.
Sementara bergandengan dengan hal itu, umat Kristiani juga akan memperingati salah satu hari tri suci, yakni Jumat Agung. Pada momentum ini sungguh nilai-nilai kebaikan dan persatuan melekat begitu kental dalam ritual tersebut.
Sehingga bulan Ramadan dan Jumat Agung sejatinya memberikan arti dan nilai yang agung, yakni saling menebar cinta dan membangun semangat toleransi. Arogansi keagamaan sungguh bertentangan dengan Ramadan dan Jumat agung.
Damai sebagai Fitrah
Toleransi akan melahirkan perdamaian abadi. Dan Damai atau perdamaian merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, konflik atau intoleransi berarti merupakan sebuah penyimpangan. Dalam kata lain, konflik dan intoleransi sejatinya telah melawan fitrah manusia itu sendiri.
Umat beragama harus mengerti betul betapa berharganya sebuah persatuan dan perdamaian. Lebih-lebih Indonesia yang memiliki komposisi penduduk sangat beragam, konflik dan intoleransi bisa saja meletus jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik.
Meski damai itu fitrah dan konflik itu penyimpangan, maka setiap terjadi konflik memang harus dilihat dari akar masalah yang melingkupinya (Iskan, 2014). Bisa jadi masalah tersebut tentang politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya. Celakanya lagi, agama lantas dibawa-bawa sebagai bungkus untuk menambah seksinya masalah.
Dari sinilah, pemahaman dan sosialisasi secara utuh tentang peran agama sebagai inspirasi bersemainya toleransi, persatuan dan perbedaan di tengah masyarakat yang majemuk perlu digalakkan. Sikap moderat dan toleran harus menjadi gaya hidup di tengah komposisi masyarakat yang majemuk.
Sikap moderat, rasa aman, toleran dan damai adalah dambaan semua manusia. Dan agama pun mengatur tentang nilai luhur tersebut. Bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang menghalalkan kekerasan. Tetapi, selalu saja ada oknum tertentu yang melakukan kekerasan atas nama agama.
Agama Sebagai Inspirasi Persatuan dan Perdamaian
Agama dan beragama adalah dua dimensi yang terintegrasi. Terkait hal ini, Nasrudin Umar (2014) menjelaskan, agama merupakan seperangkat keyakinan dan amalan bersumber dari wahyu, yang dipilih dengan keadaan sadar, untuk meraih ketenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sementara beragama (tadayyun), berarti mengintrodusir nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, anggota maupun masyarakat. Dalam hal ini, manusia, pada realitanya, cenderung mengimplementasikan nilai-nilai agama dalam bentuk atau model seperti formalitas dan subtantif.
Dalam konteks Indonesia yang beragam, apapun pilihan model beragamanya seseorang, ia harus memeragakan corak keagamaan dengan toleran, kooperatif, demokratis dan inklusif. Inilah corak beragama secara damai.
Dengan menerapkan “beragama secara damai”, maka politisasi ayat Alquran untuk kepentingan tertentu dan teror, tidak akan terjadi. Pun sikap takfiri tentu tidak akan terjadi dan menelan korban.
Namun, untuk menjadikan agama sebagai sumber inspirasi tumbuhnya persatuan dan perdamaian di tengah kondisi masyarakat yang majemuk, sungguh memerlukan atau melibatkan banyak pihak.
Secara rinci, Nasrudin Umar (2014) menjelaskan pihak-pihak yang terlibat agar agama bisa menjadi damai, aman, toleran dan adil tanpa diskriminasi.
Pertama, manusia dengan pemahaman keagamaan yang damai dan toleran. Untuk mencapai hal ini, diperlukan pemahaman atau penafsiran yang baik terhadap teks-teks agama itu sendiri.
Sebut saja Islam. Islam adalah agama damai. Namun kita masih banyak menjumpai di sekitar kita jarak antara pesan damai agama dengan implementasi beragama.
Terkait hal ini, ada konsep Islam yang harus dipahami secara mendalam. Misalnya terkait Ishlah. Yaitu upaya mendamaikan suatu konflik (QS. al-Hujarat: 9). Dengan demikian, salah satu tugas utama orang yang beragama adalah mendamaikan orang yang bertikai.
Kedua, kebijakan pemerintah yang adil. Pemerintah juga menjadi aspek yang paling strategis untuk mewujudkan perdamaian. Kebijakan yang adil tanpa diskriminasi menjadi kunci.
Dalam konteks Indonesia, memang pemerintah tidak sepenuhnya mengatur secara detail tentang kehidupan beragama penduduknya. Namun, sedikit banyak pemerintah Indonesia telah mengatur kehidupan beragama untuk warganya agar hidup damai berdampingan meskipun beda keyakinan.
Kementerian Agama selalu berupaya membina harmonisasi dan kedamaian umat beragama. Teranyar, himbauan penggunaan TOA di masjid-masjid dan musolla untuk kerukunan bersama.
Ketiga, umat beragama hendaknya mempraktekkan kekuatan kekohesifan yang menyatukan, bukan sentrifugal yang memecah-belah.
Umat harus memiliki prinsip untuk bersatu, sebab, persatuan adalah sebuah kekuatan dan perpecahan adalah awal kehancuran. Dengan demikian, segenap agamawan harus sepakat dan sepaham untuk menebar cinta, menyemai toleransi dan membina persatuan, yang dilandasi iktikad baik demi perdamaian.
Comments