Indonesia merupakan negara yang termajemuk, dengan berbagai latar suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukannya menjadi keunikan sekaligus menjadi tantangan. Tantangannya adalah bagaimana mengelola kemajemukan itu dalam ruang publik yang sama sehingga semua warga negara Indonesa dapat mengaksesnya secara adil dan setara. Dalam konsep beragama, keadilan dan kesetaraan dapat dilihat dari bagaimana negara menjamin setiap warga negaranya untuk memeluk serta menjalankan agamanya secara merdeka dan tanpa diskriminasi.
Pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJMN) 2020 – 2024, Pemerintah Indonesia memasukan moderasi beragama dalam rencana strategis (renstra) pembangunan di bidang keagamaan. Moderasi merupakan jalan tengah yang berkeadilan, sedangkan beragama adalah cara pemeluk agama menjalankan keyakinannya. Moderasi beragama berarti upaya untuk menemukan jalan yang terbaik dari setiap persoalan antar umat beragama berdasarkan prinsip adil dan setara. Kemudian muncul pertanyaan, Perlukah moderasi beragama dilakukan di Indonesia? Kedua, siapa pihak yang akan menjalankan moderasi ini? Ketiga, bagaimana model moderasi beragama yang menjadi rencana strategis dalam RPJMN 2020 – 2024?
Dalam 5 tahun terakhir (2014-2019), Setara Institute dalam risetnya menemukan ada 846 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 1.060 tindakan. Pelaku pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan adalah aktor non-negara dengan 613 tindakan dan aktor negara sebanyak 447 tindakan. Aktor non-negara yang paling banyak melanggar kebebasan beragama adalah kelompok warga (171 tindakan), disusul ormas keagamaan (86 tindakan), dan individu (71 tindakan). Sedangkan aktor negara adalah pemerintah daerah (157 tindakan), kepolisian (98 tindakan) dan institusi pendidikan (35 tindakan). Sedangkan korban dalam pelanggaran kebebasan kebebasan beragama/berkeyakinan adalah individu (193 peristiwa), warga (183 peristiwa), umat Nasrani (136 peristiwa) [1] Riset yang lainnya menunjukan bahwa selain masyarakat, lembaga pemerintahan dan institusi pendidikan juga mulai terpapar paham radikalisme. Maarif Institute pada risetnya di tahun 2017 menemukan bahwa paham radikalisme masuk ke sekolah melalui kegiatan ekstrakulikuler dan Kegiatan Belajar Mengajar (KMB) yang dilakukan oleh guru.[2] Di tahun 2018, penelitian SETARA institute menemukan bahwa 10 PTN ternama di Indonesia terpapar paham radikalisme. Gelombang radikalisme tersebut dibawa oleh kelompok keagamaan yang eksklusif ke dalam kampus dan menyasar organisasi kemahasiswaan seperti Lembaga dakwah kemahasiswaan. Kelompok eksklusif ini menyebarkan narasi bahwa mereka harus
waspada dan melakukan perlawanan dengan pikiran yang berbeda. [1] Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)-pun, Bapak Suhardi Alius mengatakan bahwa radikalisme juga sudah masuk ke hampir seluruh instansi pemerintahan di Indonesia. [2]
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto dalam diskusi bertajuk Membedah Revisi Undang-undang Anti Terorisme (2017) menyebutkan bahwa intoleransi merupakan akar dari radikalisme dan terorisme. Paham – paham radikalisme yang menyebar lewat berbagai media akan membangun kelompok – kelompok intoleran. Paham itu menyasar masyarakat rentan yang punya keinginan belajar agama, tetapi menginginkan cara yang instan.[3]
Ketua Umum Yayasan Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) Musdah Mulia menilai bahwa fenomena pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan merupakan bentuk intoleransi dan diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan. Selain itu, masih belum adanya pemahaman yang sama antara masyarakat sipil dengan pengambil kebijakan mengenai makna intoleransi. Menurutnya, yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran baru tentang makna kebebasan beragama dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketua Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo juga menyebutkan ancaman radikalisme, kekerasan dan intoleransi merupakan ancaman nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, kita harus mensosialisasikan pancasila dan menumbuhkan kesadaran tentang persatuan.[4]
Dari berbagai riset ilmiah dari kondisi Indonesia hari ini menunjukan bahwa kita membutuhkan moderasi beragama. Moderasi beragama bertujuan agar setiap umat beragama saling menghormati, tidak merasa saling benar dan menghargai hak asasi setiap manusia. Ada 3 program besar terkait moderasi beragama yang sudah dijalankan oleh kementerian Agama di tahun 2020, yakni review 155 buku pendidikan agama, rumah moderasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), serta penguatan bimbingan perkawinan. Selain itu, Kemenag juga membuat program TOT guru dan dosen, penyusunan modul pengarusutamaan Islam wasathiyah serta madrasah ramah anak. Kemenagpun juga sedang mematangkan ide menggelar lomba ceramah toleransi, menulis cerita pendek tentang toleransi dan lomba karikatur toleransi dan kerukunan umat beragama.[5] Hal tersebut bertujuan supaya semakin banyak pemeluk agama yang moderat dan mampu membangun imunitas dari paparan radikalisme.
Selain itu, untuk di persoalan akar rumput terutama dalam konflik antar umat beragama seperti intimidasi dan persekusi, hingga pelarangan tempat ibadah, maka peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap daerah harus diperkuat. FKUB dalam keterlibatan dalam memoderasi konflik, harus selalu mengedepankan semangat atas pembelaan pada hak asasi manusia. Sehingga konflik – konflik antar umat beragama di akar rumput mampu menempuh titik terang.
ditulis oleh: Angelique Maria Cuaca
[1] https://tirto.id/setara-institute-sebut-10-kampus-terpapar-paham-radikalisme-d9nh, diakses 23 September 2020, pukul 12.48
[2] https://news.detik.com/berita/d-4789445/kepala-bnpt-soal-terpapar-radikalisme-jangankan-bumn-semua-instansi-ada, diakses 23 September 2020 pukul 13.10
[3] https://tirto.id/polri-sebut-kelompok-intoleransi-bisa-jadi-awal-radikalisme-cpX8, diakses 23 September 2020 pukul 13.15
[4] https://www.voaindonesia.com/a/pelanggaran-kebebasan-beragama-terbanyak-terjadi-di-jabar-dan-jakarta/5239783.html, diakses 23 September 2020, pukul 12.00
[5] https://www.ikhlasberamalnews.com/kemenag/tiga-program-moderasi-kemenag-diapresiasi/, diakses 23 September 2020
[1] https://www.voaindonesia.com/a/pelanggaran-kebebasan-beragama-terbanyak-terjadi-di-jabar-dan-jakarta/5239783.html, diakses 23 September 2020, pukul 12.00
[2] https://news.detik.com/berita/d-3834483/maarif-institute-ekstrakurikuler-pintu-masuk-radikalisme-di-sekolah, diakses 23 September 2020, pukul 12.45
Comments