Semenjak tahun 2021, telah banyak lembaga survei yang merilis hasil temuan terkait pemilu tahun 2024, baik popularitas dan elektabilitas partai politik, maupun calon presiden dan wakil presiden. Misalnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang merilis hasil survei dengan judul “Evaluasi Publik terhadap Kondisi Nasional dan Peta Awal Pemilu 2024” di bulan Februari. Poltracking Indonesia yang juga merilis hasil survei di bulan Oktober dengan judul “Evaluasi 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin & Peta Politik Elektoral Pilpres 2024”.
Walaupun masih cukup lama, namun hasil survei memiliki beberapa signifikansi terkait peta politik Indonesia jelang pemilu tahun 2024. Pertama, hasil survei merupakan produk ilmiah, sehingga memiliki legitimasi. Hasil survei lebih dipercayai publik karena dilakukan dengan metode yang teruji dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, para pimpinan lembaga survei juga merupakan orang-orang yang kredibel di bidangnya.
Lebih lanjut, hasil survei tidak hanya memberikan kepercayaan bagi publik, namun juga bagi kandidat ataupun partai politik. Sebagai contoh, banyak sekali kasus di mana relawan memberikan data yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada partai politik maupun kandidat. Dampaknya, hasilnya pun tidak sesuai dengan realita. Oleh karena itu melalui hasil survei, data-data tersebut dapat dijadikan acuan bagi partai politik maupun kandidat dalam menghadapi pemilu.
Kedua, hasil survei dapat meningkatkan kesadaran kandidat terkait popularitas dan elektabilitas. Sebagai contoh, salah seorang kandidat presiden yang semula tidak memiliki niatan untuk ikut kontestasi di Pemilu 2024, ternyata berdasarkan hasil survei memiliki elektabilitas yang cukup tinggi. Alhasil, kandidat tersebut berubah pikiran dan berbagai partai politik pun mendekatinya agar dimajukan dalam Pemilu 2024.
Di sisi lain, kandidat yang memiliki niatan untuk maju dalam kontestasi pemilu, namun jika hasil survei menunjukkan angka yang tidak menjanjikan, maka kandidat tersebut dapat membuat strategi lain untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas, atau mengurungkan niatnya untuk maju di pemilu mendatang.
Ketiga, hasil survei dapat menjadi data bagi partai politik dalam proses seleksi kandidat, baik legislatif maupun presiden. Gallagher and Marsh´s (1988) menyebutkan bahwa rekrutmen politik sebagai “secret garden of politics”. Hal ini didasarkan aturan internal partai di mana hak prerogatif untuk menentukan kandidat hanya dimiliki elit partai politik saja. Bahkan di beberapa partai politik, hak ini hanya dimiliki oleh ketua umum, sekretaris jenderal, dan badan pemenangan pemilu partai politik di tingkat pusat. Oleh karena itu, hasil survei dapat dijadikan rujukan bagi elit partai politik dalam menentukan kandidat. Dengan demikian, proses seleksi kandidat tidak hanya berdasarkan “kedekatan”, namun juga sesuai dengan realitas yang ada.
Keempat, hasil survei dapat membentuk opini publik dan memunculkan “bandwagon effect”. Ketika seorang kandidat mendapatkan hasil survei yang cukup tinggi, opini publik akan terbentuk bahwa kandidat tersebut yang akan memenangi pemilu. Alhasil, pragmatisme partai politik akan muncul dengan berusaha mendekatkan diri kepada kandidat tersebut. Lebih lanjut, hal ini akan memunculkan “bandwagon effect”, yaitu efek ikut-ikutan seseorang karena semua orang melakukannya terlepas dari bukti yang mendasarinya (Schmitt-Beck, 2015). Dengan begitu, pemilih yang semula belum menentukan pilihan, kini akan memilih calon yang paling berpotensi menang berdasarkan hasil survei.
Pentingnya hasil survei jelang pemilu ini ternyata juga berpotensi menimbulkan sejumlah masalah. Misalnya, terkait survei pesanan yang mengabaikan hasil survei sebenarnya, profesionalisme lembaga survei, dan metodologi ilmiah survei. Pada dasarnya, sah saja jika lembaga survei dibayar oleh klien seperti partai politik maupun kandidat. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika survei tersebut merupakan pesanan dan dipublikasikan kepada publik. Dikhawatirkan, hasil survei hanya digunakan untuk menggiring opini publik semata ataupun menjegal lawan politik.
Untuk mengatasi permasalahan ini, maka perlu regulasi yang jelas dalam mengatur lembaga survei. Hal ini dapat dilakukan oleh asosiasi profesi lembaga survei dan konsultan politik, seperti asosiasi Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Persepi maupun asosiasi terkait lainnya harus mendorong dan memastikan agar kode etik dan regulasi terkait transparansi, akuntabilitas, integritas, serta profesionalisme lembaga survei, dipatuhi oleh para anggotanya.
Selain itu, saling klaim kemenangan antar kandidat juga bisa menjadi persoalan yang merupakan dampak dari hasil survei. Seperti diketahui, pada Pemilihan Presiden tahun 2014 dan 2019 lalu, di mana kedua pasangan calon presiden saling mengklaim kemenangannya berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh masing-masing calon. Apalagi, hasil survei menunjukkan kemenangan yang sangat tipis, sehingga rentan akan kesalahan. Dampaknya, terjadi konflik antar kandidat dan para pendukungnya.
Saling klaim yang dilakukan oleh kandidat ini dikarenakan hasil “quick count” lembaga survei yang dijadikan rujukan karena kecepatan penghitungan yang dilakukan oleh lembaga survei. Untuk itu, KPU perlu membuat mekanisme penghitungan secara “realtime” yang mudah untuk diakses oleh siapa saja, sehingga hasil perhitungan suara pemilu merujuk pada KPU.
Namun demikian, kehadiran lembaga survei memang sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang tertera pada Pasal 435 hingga Pasal 447 dalam bab Pemantau Pemilu. Kehadiran lembaga survei juga mengindikasikan bahwa perpolitikan Indonesia sudah berbasis data dan ilmiah. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa lembaga survei yang terdaftar dan diakui harus kredibel dengan alat ukur yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. Jangan sampai, lembaga survei hanya dipakai oleh sekelompok orang atau partai politik untuk kepentingan pribadi.
Hal yang perlu digaris bawahi adalah selama survey sudah memenuhi kaidah keilmuan dalam melakukan survey yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik maka lembaga survey tetap menjadi senjata bagi calon anggota DPR maupun calon Presiden untuk menyusun rencana kampanye mereka kedepannya. Munculnya narasi lembaga survey bisa “Dipesan” seharusnya hal ini sangat sayang kan muncul dari calon pemimpin bangsa ini. Karena terkesan melecehkan keilmuan yang telah diakui secara internasional. Pada akhirnya mereka hanya mampu mengeluarkan “Narasi Politik” untuk mempertahankan elektabilitas mereka ditengah masyarakat.
Comments