Sebagai sebuah kejahatan terorganisir dan lintas negara, terorisme tidak hanya cukup diantisipasi pada level nasional. Setidaknya butuh kerjasama lintas negara, baik dalam satu kawasan maupun secara global. Secara konsep, terorisme adalah musuh seluruh negara dan merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok ini, walaupun dieksekusi di negara tertentu, cukup mudah dinilai bahwa kasus-kasus tersebut berjejaring dengan aktor diluar negara.
Di level nasional, strategi pencegahan yang dilakukan adalah dengan meratifikasi perjanjian internasional atau membuat regulasi berbentuk Undang Undang. Undang-Undang ini mencakup pengertian terorisme secara baku, strategi pencegahan baik militer maupun non militer, penindakan, program kontra radikalisasi dan deradikalisasi hingga perlindungan terhadap korban. Di Indonesia misalnya menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Dinamika Terorisme di SEA
Dalam Jurnal Politicos (Politik dan Pemerintahan, 2022) yang berjudul Perspektif Kebijakan Kontra-Terorisme dan Perbedaan Paradigma Penanggulangan Terorisme oleh Negara-Negara Anggota ASEAN, menyatakan bahwa negara-negara ASEAN menggunakan pendekatan hukum dalam penanggulangan terorisme. Berbagai instrumen yang dilakukan oleh ASEAN sebagai organisasi kawasan seperti ASEAN Declaration on Join Action to Counter Terrorisme (2001), ASEAN Convention on Counter Terrorism (2007) dan berbagai kerangka kerjasama dengan negara mitra.
Dalam banyak literatur, kawasan Asia Tenggara termasuk kawasan yang rentan terhadap kejahatan terorisme, terutama di Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Selain kondisi lokal masing-masing negara, lemahnya sistem perbatasan juga dianggap mempermudah pergerakan jaringan-jaringan terorisme global. Di Indonesia misalnya ada Jamaah Islamiyah yang terafiliasi dengan Al-Qaeda, JAD terkoneksi dengan ISIS, sedangkan di Filipina, ada kelompok Abu Sayaf yang juga terafiliasi dengan ISIS.
Kerjasama Regional
ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) merupakan produk kerjasama regional yang populer di Asia Tenggara. Sebagai piagam deklarasi, setiap negara peserta meratifikasi dokumen tersebut.
ACCT ini adalah kerangka dasar kerjasama regional dalam upaya bersama penanggulangan terorisme. Poin-poin yang dibahas adalah kerjasama antar lembaga penegakan hukum, kerjasama inteligen dan pengembangan kapasitas. Turunan dari ACCT ini adalah ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter Terrorism. Aksi yang dilakukan dari kerjasama ini adalah pencegahan, menekan organisasi terorisme, mengganggu jaringan dan menggagalkan rencana aksi terorisme dan membawanya keranah pengadilan.
Walaupun sudah ada dasar kerjasama regional dalam penanggulangan terrorisme, namun setiap negara memiliki cara pandang masing-masing. Indonesia dan Singapura dianggap menggunakan pendekatan non-militer, sedangkan Malaysia, Thailand dan Filipina menggunakan kebijakan militer. Sementara bagi Laos, Kamboja, Brunei, Vietnam dan Myanmar, pengembangan aparat militer dan pembentukan perangkat hukum bukanlah agenda yang prioritas. Negara-negara ini menggunakan pendekatan penanganan kejahatan transnasional, misalnya dengan menetapkan regulasi tentang aliran dana, pencucian uang dan pembiayaan terorisme. Tentu saja ini berkaitan dengan situasi nasional dan perkembangan sejarah masing-masing.
Walaupun masing-masing negara mempunyai pendekatan yang berbeda, Organisasi ASEAN melalui ACCT harus menghormati cara masing-masing karena menerapkan prinsip non-intervensi. Tapi, upaya yang dilakukan ASEAN telah berhasil untuk meningkatkan kesadaran bersama terkait bahaya terorisme bagi kestabilan kawasan. Deklarasi ACCT juga merupakan upaya penting ASEAN dalam merespon dan mencegah ancaman terorisme di kawasan secara sistematis.
Perbedaan dengan Regional Lain
Penulis mencoba membandingkan secara singkat bagaimana perbedaan penanganan terorisme di kawasan Asia Tenggara dengan kawasan Asia Selatan. Kawasan Asia Selatan adalah regional yang terdiri dari 8 negara dan memiliki kerentanan stabilitas politik. Kawasan ini memiliki organisasi regional yaitu South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC).
Selain isu terorisme, stabilitas keamanan di kawasan ini juga terganggu oleh konflik wilayah/perbatasan, imigran, pengungsi dan ancaman nuklir. Kawasan Asia Selatan dinilai rawan konflik karena kurangnya mutual trust antar negara anggota. Perkembangan terorisme di kawasan Asia Selatan cukup mengkhawatirkan. Menurut data Global Terrorism Index tahun 2019, Asia Selatan berada di peringkat kedua kawasan yang terdampak serangan dan kematian akibat terorisme.
Dalam penanggulangan terorisme berbasis kawasan, menurut data UNODC, kawasan ini menggunakan instrumen SAARC Regional Convention on Suppression on Terrorism, 1986 (organisasi regional pertama yang membuat pakta melawan terorisme). Setelah itu ada Additional Protocol to the SAARC Regional Convention, 2004.
Isu terorisme di kawasan ini telah terjadi cukup lama, mulai dari kasus separatisme, pergolakan kelompok kiri dan kelompok kanan dan ekstrimisme agama. Kompleksnya isu keamanan juga dipengaruhi oleh kelompok nasionalis, kelompok ekstrimis agama dan kelompok separatis yang mengedepankan nasionalisme etnis.
Menurut penulis, instrumen yang di gunakan SAARC dalam penanggulangan terorisme berbasis kawasan tidak cukup komprehensif jika dibandingkan dengan pendekatan kawasan yang dilakukan ASEAN. Tantangan yang dihadapi adalah pembentukan SAARC fokus pada peningkatan kerjasama ekonomi dan bukan pada upaya menciptakan dan mempromosikan perdamaian. Konflik antar negara anggota (India-Pakistan dalam kasus Kasmir, Konflik Pakistan-Bangladesh, dll) telah menyita perhatian dan mempengaruhi berbagai kerjasama di kawasan. Dalam upaya penanggulangan terorisme, masing-masing negara menggunakan pendekatan bilateral dengan negara luar kawasan.
Comments