Penulis : Sulassky

Apasich yang ada dipikiran kamu tentang Mentawai? Selain daerah rawan gempa dan sikere mungkin Mentawai identik dengan wilayah pedalaman, hutan, pantai dan manusia yang masih sangat tradisional .

Ya. Pemikiran seperti itu juga dominan dalam pikiran saya saat memutuskan untuk berkunjung langsung ke Mentawai pada 23 Maret 2022 kemaren. Berbekal informasi dari Atika, teman sekaligus guide saya saat di Mentawai mengenai jadwal transportasi dengan menggunakan kapal cepat “mentawaifast” saya berangkat Pukul 07 pagi dari pelabuhan Muaro Padang menuju pelabuhan Tua Pejat di pulau Sipora.

Selama 3 jam perjalanan menggunakan kapal cepat pukul 10.00 saya sampai di pelabuhan Tua Pejat. Atika sudah menunggu di kedai sarapan sekitar pelabuhan. Saya mencicipi soto dan cappucino ala Tua Pejat untuk yang pertama kalinya. Rasanya sama, yang berbeda cita rasadan tempatnya.

Tuapejat merupakan ibu kota dari kabupaten Kepulauan Mentawai,  dengan luas wilayah 86,52 km² dan memiliki penduduk ditahun 2020 berjumlah 6.475 jiwa.Mentawai mempunyai mayoritas masyarakat beragama Kristen, dan merupakan satu-satunya kabupaten yang mayoritas Kristen di Sumatera Barat,  Pemeluk agama Kristen berjumlah 77,59%%, dimana Protestan 48,50% dan Katolik 29,09%. Kemudian pemeluk agama Islam sebanyak 22,22% dan lainnya  0,19%. Kepercayaan lainnya meliputi kepercayaan yang dianut suku asli Mentawai yang secara fisik memiliki kebudayaan  zaman neolitikum dimana pada masyarakat ini tidak mengenal akan teknologi pengerjaan logam, begitu pula bercocok tanam maupun seni tenun.

Namun, pada perkembangaannya, setelah zaman kemerdekaan Mentawai  didatangi oleh berbagai suku bangsa lain yang ada di Indonesia terutama setelah kabupaten ini menjadi salah satu daerah transmigrasi. tercatat saat ini terdapat berbagai suku yaitu. Suku Mentawai, Suku Sakuddei dan Suku Minangkabau yang merupakan penduduk utama di kabupaten ini. Namun, secara garis besar masyarakat ini tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang asal usul mereka.

kepulauan yang dikenal dengan nama Bumi Sikerei ini mempunyai kebudayaan yang masih kental, pantainya yang alami dengan pasir putih yang indah dan bangunan-bangunan dengan desain tradisonal seperti Rumah adat suku Mentawai yang disebut uma dan rata-rata bangunan masyarakat berupa rumah dengan dinding terbuat dari papan. Struktur bangunan seperti ini sangat cocok untuk daerah rawan gempa mungkin itu salah satu alasan kenapa rumah dibangun semi permanen.

Singkat cerita, Mentawai yang awalnya dipikiran saya identik dengan gempa, Sikerei, wilayah pedalaman, hutan, pantai dan manusia yang masih sangat tradisional, setelah berkunjung ternyata Mentawai adalah suatu daerah yang penduduknya sangat ramah, pantainya sangat indah dan jiwa toleransi masyarakatnya sangat megah. Sebagai seorang muslim awalnya saya sedikit khawatir tentang memperoleh makanan halal di Mentawai, ternyata kebanyakan rumah makan dikelola secara halal, dan masyarakat Non muslim sangat paham cara memperlakukan muslim, dan yang membuat saya takjub, Adzan berkumandang saat waktu sholatdatang. Meskipun di sepanjang jalan saya temui banyak gereja tapi beberapa titik musalla dan mesjid juga ada. Cerminan toleransi terpampang nyata.

Perjalanan 3 hari 2 malam saya di Mentawai membuat saya jatuh cinta pada Mentawai dan ingin kembali lagi ke sana. Menapaki lebih banyak tempat, bertemu lebih banyak manusia dan merasakan damai dan indahnya bumi Sikerei dari sisi yang berbeda.

dutadamaisumbar

Tips To Improve English Vocabulary

Previous article

Penanggulangan Terorisme Berbasis Kawasan : ASEAN

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Edukasi