Empat orang warga di Desa Lembontonga, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah diduga menjadi korban pembunuhan dari kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.
Para korban dieksekusi langsung oleh Ali Kalora. Polisi menyatakan tindakan tersebut bertujuan untuk menyebarkan teror di masyarakat.
“Jadi mereka kadang-kadang suka melakukan aksi secara acak. Namanya teroris, jadi melakukan tindakan teror untuk menakut-nakuti masyarakat,” kata Kabid Humas Polda Sulteng, Komisaris Besar Didik Suparnoto saat dikonfirmasi, Sabtu (28/11), sebagaimana di lansir oleh CNN Indonesia.
Mujahidin Indonesia Timur (bahasa Arab: المجاهدين في شرق إندونيسيا; bahasa Inggris: Eastern Indonesian Mujahideen; Mujahideen of East Indonesia), yang umumnya disingkat menjadi MIT, adalah sebuah kelompok militan Islam yang beroperasi di wilayah pegunungan Kabupaten Poso dan bagian selatan Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah di Indonesia. Setelah Santoso meninggal, pemimpin kelompok ini adalah Ali Kalora. Kelompok ini telah menyatakan sumpah setia kepada Negara Islam Irak dan Syam.
MIT secara umum melakukan operasi mereka di daerah Sulawesi Tengah, tetapi mereka juga mengancam untuk menyerang target mereka di seluruh Indonesia. Operasi kelompok ini biasanya menimbulkan korban jiwa, dan mereka juga dilaporkan terlibat dalam bentrokan kelompok Muslim dan Kristen di Maluku pada 1999 hingga 2002.
Pemimpin MIT, Santoso, tewas pada kontak tembak pada 18 Juli 2016. Pada 14 September 2016, tangan kanan Santoso, Basri, ditangkap bersama istrinya oleh Satgas Operasi Tinombala.
Faksi Ali Kalora
Faksi ini merupakan faksi pecahan di kelompok Mujahidin Indonesia Timur. Faksi ini terdiri dari 16 orang yang kebanyakan di antara mereka adalah bawahan Santoso. Faksi ini dipimpin Ali Kalora dan istrinya, Tini Susantika alias Umi Farel.
Faksi ini merupakan faksi yang sering terlibat kontak tembak dengan Satgas Operasi Tinombala. Sebelum baku tembak terakhir, sedikitnya ada 10 DPO yang telah berhasil ditangkap atau tewas dalam baku tembak. Mereka adalah Germanto alias Rudi atau Husain, Agus Suryanto Farhan alias Ayun, Udin Malino alias Rambo, Ponda alias Dodo, Bahtusan Magalazi alias Farouk, Sadik Torulmaz alias Abdul Aziz, Thuram Ismali alias Joko, Nuretin Gundogdu alias Abdul Malik (keempatnya dari Uighur), Ahmad Madura, dan Anto alias Tiger atau Yuda.
Pada bulan September hingga November, Andika Eka Putra, Sobron,dan Yono Sayur tewas setelah kontak tembak dengan pasukan gabungan.
MIT telah dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa di bawah Komite Sanksi Al-Qaeda pada 29 September 2015.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat juga telah menyatakan bahwa MIT adalah organisasi teroris. Santoso juga masuk dalam Daftar Teroris Global (SDGT) Amerika Serikat. Sebagai konsekuensi dari pencatatan itu, semua bentuk properti di daerah yurisdiksi AS yang mengatasnamakan Santoso akan diblokir.
Ideologi dan Pengaruh
Dr. Kumar Ramakrishna menganggap pusat keseimbangan MIT terletak pada kerangka ideologi mereka serupa dengan Darul Islam. Ia menambahkan bahwa faktor lain keberhasilan MIT dalam menjalankan aksi-aksi mereka adalah lingkungan yang mendukung. Indonesia sebagai negara kepulauan secara tidak langsung mendukung mobilitas kelompok militan untuk bergerak secara leluasa. Kebebasan mendapatkan senjata api turut mempengaruhi fenomena ini, baik yang sudah tersedia di Poso maupun pembelian material bom dan peledak dari pedagang gelap di Makassar dan Surabaya. MIT juga dianggap sebagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan banyak gerakan teroris lain di Indonesia. Menurut Fajar Purwawidada, pemerhati masalah terorisme, kini MIT merupakan sentral dan pusat dari gerakan jaringan kelompok teroris di Indonesia. Hampir semua gerakan yang diduga teroris saat ini merupakan jaringan pendukung MIT.
“ | Selain di Poso, juga tersebar di Jawa, Sumatera, dan Nusa Tenggara Barat. MIT sebagai pengganti kendali perjuangan yang sebelumnya didominasi jaringan Solo. Menurut Fajar Purwawidada, pemerhati masalah terorisme(Januari 2016) | ” |
Menurut Kadiv Humas Mabes Polri Brigjen (Pol.) Boy Rafli Amar pada bulan april 2016 yang sekarang telah menjadi Kapala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme , tim Operasi Tinombala terus melakukan upaya lokalisir kepada warga di wilayah Poso, Sulawesi Tengah. Langkah ini untuk mengantisipasi menyebarnya pengaruh kelompok MIT di daerah itu.
Pengamat terorisme dari The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, menyampaikan lima analisis.
Pertama, eksistensi perlawanan kelompok teroris itu akan menurun drastis karena Santoso adalah simbol sekaligus simpul perlawanan di belantara hutan Poso selama ini.
Kedua, di Indonesia ada tiga tempat seksi untuk gerilya yaitu Sulawesi, Aceh dan Papua. Ketika sosok Santoso tidak ada lagi maka perlawanan teroris di Sulawesi akan memudar, dan peluang terciptanya kedamaian di Poso pun terbuka.
Ketiga, tidak ada lagi ‘Santoso-Santoso’ baru yang muncul karena pilihan pribadi dengan latar belakang dendam atau kreasi dari kelompok tertentu karena visi politiknya ke depan.
Keempat, Operasi Tinombala harus segera dihentikan karena target utamanya di Poso telah didapatkan. Terakhir, meninggalnya Santoso menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia agar menggunakan pendekatan disengagement of violence atau menjauhkan seseorang dari aksi-aksi kekerasan dan meninggalkan metode enforcement atau penindakan.
Comments