Koto Anau; Tradisi yang Ada saat Kematian
Berbicara mengenai kematian, tentu berbicara mengenai duka dan air mata. Bahkan, tidak sedikit manusia yang berputus asa jika sudah berhadapan dengan maut. Kematian bisa menimpa siapa saja, tidak memandang umur, pangkat, status sosial, bahkan kasta sekali pun. Tentu mengenai kematian tidak ada yang tahu, seakan-akan mengungkapkan sebuah tabir semu yang tidak tahu kapan dan di mana akan terjadi.
Di berbagai daerah, agama, dan kepercayaan setempat, tentu banyak tradisi dalam proses kematian ini. Ada proses dibakar, dikremasi, dikubur, dihanyutkan, atau bahkan dibiarkan saja di alam bebas, menunggu hewan-hewan pemakan bangkai untuk menghabisi mayat yang sudah tidak lagi nyawa. Tradisi dan kebudayaan masyarakat tentu juga ada, bahkan mungkin berbeda satu sama lain.
Salah satu di Koto Anau, sebuah nagari yang terletak di bawah kaki Gunung Talang dan berada di Kabupaten Solok, memiliki tradisi tersendiri. Di Nagari Koto Gadang Koto Anau, saat berita kematian diumumkan di Masjid Raya Darusallam, masyarakat setempat akan saling kabar mengabari, setelah itu pergi ke rumah duka. Dengan kata lain, kaba kematian tidak diimbau oleh pihak utama, tetapi inisiatif masyarakat setempat. Tentu hal ini umum dilakukan oleh orang lain.
Biasanya, orang-orang yang pergi akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Jika yang meninggal yang sudah beristri atau bersuami, tentu akan ada pihak sumandan atau pihak bako anak, ada pihak satu suku, ada orang terdekat atau tetangga. Saat di rumah duka, ada pihak yang bertugas untuk mancabiak kapan alias merobek kain kafan untuk dibagi dalam bentuk dan ukuran yang diperlukan. Biasanya dilakukan oleh niniak mamak. Di Koto Anau, jika yang meninggal anak gadis atau masih perjaka, alias belum menikah, mayat akan dikuburkan bersama batang pisang atah tumbuh-tumbuhan dingin.
Saat proses itu berlangsung, biasanya pihak keluarga akan memberikan barang-barang, seperti payung hitam, baju sapatagak, Al-Qur’an, dan mangkok (untuk mereka yang ikut serta memandikan), kepada orang yang berjasa dalam mengurus mayat, dengan kata lain kiai atau ustaz.
Malam hari setelah mayat terkubur, ada acara baratik alias berdoa dan berzikir untuk keselamatan mayat di alam kubur. Baratik biasanya dilakukan di beberapa tempat, tentu yang pertama rumah utama si mayat, kedua rumah orang tua si mayat atau istri mereka. Baratik pun ada yang sederhana yaitu berzikir saja dan ada yang berceramah agama hingga ceramah adat. Biasanya, bapak-bapak duduk di bagian ujung, ibu-ibu di bagian luar. Mereka yang datang, membawa beras, kopi, gula, dan telur untuk tuan rumah yang sedang berduka.
Di Koto Anau ada tradisi marik kubua (batagak batu) atau memagar kuburan dengan bebatuan dan diberi batu nisan. Hal itu dilakukan setelah dua minggu mayat dikebumikan, tentu tujuannya melihat kepadatan tanah setelah dikali. Marik kubua biasa dilakukan pagi hari setelah salat Subuh dan yang melakukan para pria dewasa yang sudah diundang oleh tuan rumah.
Saat marik kubua makanan yang menjadi ciri khas atau tradisi di Koto Anau bukanlah rendang kacang, gulai cubadak, ataupun gulai taucho. Akan tetapi, makanan ringan yang disebut silamak dan sarabi. Kebanyakan orang tentu sudah tahu bentuk sarabi, bahkan pernah menikmati sarabi tersebut.
Silamak merupakan makanan ringan yang terbuat dari ubi jalar, pisang raja, dan gula aren. Proses dari pembuatan ini diungkap alias diuapkan di wajan besar agar gula merah melakat dan menjadi enak. Uniknya, makanan ini hanya ada ketika acara marik kubua. Ada pun yang membuat untuk camilan, tentu sangat jarang. Sementara itu, sarabi dibuat dengan tujuan menambah semangat dan kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan. Bahan unik yang digunakan dalam pembuatan sarabi yakni kemumu yang sudah dihaluskan dengan tujuan ada rongga-rongga dalam serabi.
Tradisi kematian di Koto Anau beragam, ada yang melakukan doa berbilang, yakni 7 hari, 14 hari (mamarik kubua) 40 hari, dan 100 hari. Biasa acara yang dilakukan makan bersama. Tujuan akhir tentu aroma makanan yang terhidang bisa dinikmati oleh mereka yang tidak kasatmata.
Comments