Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu.
Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyarakat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.
Bentuk politik identitas biasanya seperti berikut:
Politik Identitas Etnis, misalnya saja adanya pemilihan kepada daerah yang dilakukan di berbagai wilayah yang lebih menonjolkan dan mementingkan kesamaan etnisnya untuk mendulang kemenangan dan dukungan calon pemilihnya
Politik Identitas Agama, menggunakan identitas agama tertentu dalam berpolitik. hal ini sebenarnya sah-sah saja seperti yang terjadi di tanah air. misalnya saja dalam terbentuknya PAN (Partai Amanat Nasional) yang didasari atas ketersaingan dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Dua partai ini sama-sama memiliki simbul agama untuk mendulang kekuatan dan kemenangan. Untuk PAN berbasis Muhammadyah, dan untuk PKB berbasis NU (Nahdlatul Ulama).
Politik Identitas Gender, Jenis kelamin dan gender pada saat ini muncul sebagai salah satu politik identitas, misalnya adalah adanya kuota khusus yang dilakukan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada para wanita berkarir di dunia politik. Tentu saja kondisi ini menjadikan timbulnya politik identitas, dimana kaum perempuan yang selama ini merasa terpinggirkan pada akhirnya bisa bersatu untuk memberikan dukungan dan mengutus keterwakilan perempuan dalam dunia poitik.
Jika di gali lagi, dasar munculnya politik identitas, sebenarnya sangat membantu bagi suara minoritas yang selama ini terpinggirkan. namun jika politik identitas terus-terusan di gaungkan dan terus menerus menjadi bahan berpolitik praktis justru akan menjadi racun dalam berpolitik praktis. jika kita ibaratkan politik identitas adalah sebuah makanan atau minuman maka akan didapat bahwa makanan atau minuman dalam jumlah yang pas dan sesuai kebutuhan akan sangat bermanfaat bagi manusia namun jika terus-terusan makan dan tidak ada jeda maka justru makanan akan menjadi senjata pembunuh.
negara yang sangat kental dengan politik identitas adalah malaysia. Dimana sebagian besar partai politik dinegara jiran tersebut menggunakan nama dengan identitas yang sangat identik dan sangat jelas partai itu berasal dari kalangan mana. lalu apakah di indonesia juga bisa diterapkan politik identitas ini? sebenarnya bisa, namun masyarakat indonesia setelah era reformasi masih dalam tahap belajar berpolitik dan hal ini tidak bagus untuk penerapan politik identitas ini. karena masyarakatnya yang masih belum siap berpolitik dengan sehat. hal ini dibuktikan dengan isu agama yang dijadikan sebagai bahan dalam berpolitik praktis. tentunya hal ini sangat tidak baik dalam belajar berpolitik dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Comments