Kuda kepang/jaran kepang/jaranan juga dikenal dengan sebutan kuda lumping maupun jathilan, merupakan kebudayaan masyarakat jawa baik itu Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun DI Jogjakarta. Kesenian yang satu ini tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia lantaran Suku Jawa tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari pedesaan hingga perkotaan. Orang Jawa yang merantau tadi membawa dan mengembangkan kesenian kuda kepang di tempat mereka tinggal.

Ciri khas dari kesenian kuda kepang adalah penarinya yang senantiasa menggunakan atribut berupa kuda yang terbuat dari anyaman bambu maupun kulit hewan (lumping) yang dihiasi rambut tiruan dari plastik atau bahan lainnya yang dikepangkan.

Sejarah tarian ini memiliki beragam versi, mulai dari bentuk sederhana sajak zaman primitif, hingga kisah kegagahan para prajurit kerajaan di medan perang, namun perbedaan sejarah tersebut tidak menjadi persoalan hal ini lebih menuju pada kesadaran bahwa kesenian kuda kepang adalah warisan budaya moyang bangsa Indonesia yang wajib dijaga kelestariannya.

Hal lain yang juga menjadi ciri khas kesenian kuda kepang adalah adanya kesurupan/kesetanan, dimana para penari seperti memiliki kekuatan fisik yang lebih dari manusia pada umumnya lantaran dirasuki oleh kekuatan lain. Hal inilah yang kemudian oleh sebagian oknum dikatakan bahwa kuda kepang/jaran kepang/kuda lumping atau Jathilan itu haram, karena dianggap bersekutu dengan setan.

Kesetanan, kata dasar “Setan” diawali imbuhan “ke” dan mendapat akhiran “an”. Menurut KBBI awalan “ke” berarti; menuju, misal ke pasar. Sedangkan akhiran “an” dapat diartikan menyerupai sifat. Jadi kata “kesetanan” berarti menuju pada sifat yang menyerupai setan.

Sifat setan dalam kitab suci dituliskan bahwa setan itu “Jahat, pembangkang, tidak taat, suka maksiat, suka melawan aturan, dan durhaka”. Sifat tersebut adalah hal yang wajar dan wajib diharamkan.

Mereka yang mengharamkan kuda kepang adalah manusia yang berketuhanan, sesuai dengan definisi imbuhan awalan “ke” dan akhiran “an” maka kata “ketuhanan” berarti; “menuju pada sifat yang menyerupai Tuhan”, dimana Tuhan itu memiliki sifat “maha baik, maha penyayang, maha pengampun, maha sempurna”.

Namun dalam kehidupan bermasyarakat penulis belum pernah melihat ataupun mendengar bahwa penari jaranan kesetanan sehingga melakukan pembunuhan maupun pelecehan seksual, tetapi penulis sering melihat dan mendengar berita baik melalui siaran TV, Radio, maupun media sosial manusia yang berpenampilan agamis dan ber-ketuhanan melakukan tindak pelecehan seksual, pembunuhan, penggelapan donasi, dan banyak lagi tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh orang yang berjalan mendekatkan diri pada Tuhan, atau justru pendekatan diri pada tuhan dilakukan lantaran terlalu banyak dosa yang dilakukan, sehingga sengaja mencari muka dihadapan Tuhan.

Salam hormatku untuk para pelaku kesenian jaranan, meskipun kalian kesetanan tetapi jauh lebih mulia dari pada mereka yang katanya berketuhanan.

Suyadi

Yang Pergi Raga Bukan Rasa

Previous article

Aku Titipkan Budaya Nusantara Pada Siapa?

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini