a
Siapa yang tidak tahu dengan buku atau cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis? Setidaknya banyak penulis Indonesia yang tahu dan pernah membaca buku tersebut. Buku yang diterbirtkan oleh Gramedia dan sudah beberapa kali naik cetak, merupakan buku klasik dengan ciri tulisan yang khas.
Buku ini menceritakan tentang tokoh utama yang dipanggil Kakek dan tokoh Aku. Dikisahkan Kakek tersinggung dengan ucapan Ajo Sidi, bahkan tokoh Aku juga ikut-ikutan tersinggung dengan ucapan pria yang dikenal dengan si Pembuat. Akan tetapi, dikatakan pembual, ucapan Ajo Sidi mengandung pameo alias menjadi kenyataan.
Alasan Kakek tersinggung dengan ucapan Ajo Sidi karena pria itu secara tidak langsung mengatakan Kakek manusia terkutuk. Ajo Sidi yang terkenal dengan ceritanya, memberi tahu Kakek bahwa kelak di akhirat nanti, orang yang sibuk dengan ibadah sendiri dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar, seperti mengabaikan anak-istri alias keluarga, tetangga, dan masyarakat lain, akan masuk neraka.
Tokoh Aku yang mendengar ucapan tersebut juga tersinggung. Ia meminta si Kakek untuk bersabar. Keesokan harinya, tokoh Kakek ditemukan meninggal dengan leher tergorok dan mengeluarkan darah. Tokoh Aku mencari keberadaan Ajo Sidi, tetapi Ajo Sidi malah pergi kerja dan meninggalkan uang untuk membeli kain kafan tujuh kabung.
Hal menarik dan menjadi nilai bagus dari cerpen ini untuk pegangan dalam hidup, beragama ataupun lingkungan sekitar, yakni mengenai ibadah kita dengan Tuhan. Di dalam Al-Qur’an, Allah memang menyuruh kita untuk beribadah dan menyembah-Nya, tetapi Allah juga menyuruh kita untuk berhubungan dengan sesama manusia. Antara akhirat dan dunia harus dimbangi, kejar akhirat di dunia yang dinaungi, bukan terfokus kepada ibadah saja.
Selanjutnya, penyajian dengan kiasan-kiasan, termasuk dialog ahli ibadah dengan Tuhan, menggambarkan bahwa segala sesuatu butuh ungkapan secara tidak langsung dengan perumpamaan-perumpaan atau kiasan.
Selain kelebihan, tentu ada kekurangan karena tidak ada tulisan yang sempurna. Kekurangan dari cerpen ini terletak dari sisi penyajian. Bahasa yang kaku dan terlalu tinggi, membuat seseorang malas membaca, bahkan tidak paham mengenai makna yang disampaikan.
Kedua, sikap Ajo Sidi yang bersikap biasa saja dalam naskah setelah mendengar kabar Kakek meninggal, tentu tidak patut ditiru. Setidaknya, pergi melayat ke rumah duka merupakan suatu penghormatan terakhir pada jasad.
Sikap Kakek pun patut dikritik. Bagaimana pun, penyampaian dengan bahasa sindiran, tidak usah tersinggung alias patut direnungkan, apakah perkataan itu benar atau tidak. Ambil hikmah dari hal-hal yang ada, dan jangan berputus asa atau bersikap egoisme dengan membanggakan bahwa diri sendiri sudah cukup dekat dengan Tuhan dan beriman kepada Tuhan.
Dari naskah Robohnya Surau Kami karya A.A Navis dapat diambil kesimpulan bahwa naskah ini layak dibaca untuk mengubah pola kita terhadap ibadah dan hubungan dengan Tuhan.
Indonesia, 13 Juli 2023
Comments