Beberapa hari terakhir viral sebuah video di media sosial sekelompok orang tengah mengumandangkan Adzan. Namun di sela-sela kumandangnya seruan kepada umat Muslim untuk beribadah itu. terdengar ada Lafadz Azan yang diganti, yaitu “Hayya ‘alashshalaah diganti dengan Hayya ‘alaljihad”.
Hal ini membuat banyaknya respon negatif dari kalangan warganet karena lafal tersebut dinilai tidak sesuai dengan konteks dan kaidah Adzan yang mana berupa seruan untuk umat yang beragama Islam agar menjalankan Ibadah Shalat 5 waktu.
Berbicara mengenai digantinya Lafadz Adzan sebenarnya pada zaman Rasulullah pun pernah terjadi. Berdasarkan hadist dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, kala itu terjadi hujan yang sangat lebat beliau berpesan kepada muadzin yaitu :
“Apabila engkau selesai mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ‘Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ‘Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian].
Apakah pernyataan Ibnu Abas saat itu terjadi pertikaian dan penolakan oleh masyarakat ? tentu, namun dalam HR. Muslim no. 1637 dan Abu Daud no. 1066 memperkuat pernyataan dari Ibnu Abas tentang dibolehkannya menambah atau digantinya lafadz Adzan .
”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].”
Hadist ini juga menjadi salah satu dasar para ulama di Indonesia baik itu yang tergabung dalam MUI, Muhammadiyah dan NU dalam menentukan Fatwa Lafadz Adzan dan kegiatan ibadah Sholat jm’at dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19 di Indonesia.
Sahabat damai, bisa disimpulkan bahwa menganti atau menambah lafadz Adzan itu boleh namun tetap dalam konteks pelaksanaan ibadah Shalat sesuai kondisi atau keadaan darurat yang membuat kita tidak bisa melaksanakannya di Masjid secara berjamaah.
Lalu bagaimanakah hukum menganti lafadz Azan dari “Hayya ‘alashshalaah yang diganti dengan Hayya ‘alaljihad” ?
Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak boleh adanya penambahan seruan jihad dalam azan yang dikumandangkan karena berbeda konteks dan redaksi. Redaksi Adzan sudah baku menurut aturan syariat dan tidak boleh diubah, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah mengubah redaksi adzan selain untuk urusan shalat, meski dalam situasi perang sekalipun.
Dalam pandangan Muhammadiyah, pergantian lafadz “Hayya ‘alashshalaah ke Hayya ‘alaljihad” tidak jelas secara kontekstual, tak hanya itu juga belum ditemukan adanya hadist yang membenarkan pergantian itu.
Berbicara tentang tidak adanya landasan dasar hadist, penulis jadi ingat kutipan salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i Imam Ibnu Hajar rahimahullah, ia pernah berkata :
“Sesuatu yang memiliki landasan dalil dalam syari’at, maka itu bukanlah bid’ah. Bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela, sedangkan pengertian secara bahasa bid’ah merupakan segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.” (Fath Al-Bari, 13:253).
Berdasarkan penjelasan dari beberapa referensi yang penulis jabarkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa perubahan lafadz Adzan yang tidak ada konteks ajakan untuk Ibadah Shalat hukumnya adalah Bid’ah karena itu merupakan sesuatu yang mengada-ngada.
Untuk itu sahabat damai, ketika kita hendak berbuat sesuatu dalam konteks ibadah untuk menjalankan syari’at agama, alangkah lebih baiknya kita melakukan suatu hal berdasarkan ilmu secara kontekstual agar tidak terjadinya polemik di tengah masyarkat.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran atas kejadian ini.
Comments