Oleh: Yui
Tampaknya kasus di dunia pendidikan tidak akan ada habisnya untuk dibahas, apalagi di zaman serba canggih dan serba modern. Semua berita langsung tranding dan viral, apalagi tidak hanya satu atau dua orang yang membahas berita tersebut.
Setelah viral kasus study tour yang menelan korban jiwa dan ada beberapa pihak yang menyalahkan kegiatan tersebut, muncul berita mengenai seorang mahasiswi yang menggunakan uang beasiswa untuk kesenangan pribadi. Berita tersebut membuat heboh, dan banyak pihak yang menyayangkan bahwa bantuan seperti beasiswa kebanyakan tidak tepat sasaran.
Menyinggung hal tersebut, mahasiswi yang mendapat sorotan tersebut langsung mengundurkan diri dari penerima bantuan. Entah karena merasa diancam atau malu.
Lalu, bagian yang tidak kalah heboh mengenai kenaikan UKT. Kenaikan ini tidak terjadi di satu kampus, tetapi di beberapa kampus negeri. Hal tersebut membuat mahasiswa-mahasiswi mendemo pihak kampus untuk menurunkan biaya UKT yang tidak terjangkau oleh orang tua mereka.
Viralnya kasus tersebut, sampai beberapa orang terkenal menyoroti peristiwa itu dan mengaitkan dengan politik, menjadikan pendidikan Indonesia dalam tanda tanya besar. Apakah pendidikan di Indonesia memang serumit ini atau memang pendidikan Indonesia tidak akan pernah maju?
Nanti berbicara mengenai UKT dan segala permasalahan di perguruan tinggi. Mulai dari tingkat TK saja orang tua murid sudah dibebankan dengan biaya-biaya yang lumayan memusingkan. Acara wisuda yang ditujukan untuk anak kuliah, telah digaungkan untuk setiap tingkat dengan dalih, kenang-kenangan.
Tidak masalah jika membahas uang baju dan uang sekolah untuk sekelas TK yang wajib dan tidak diwajibkan ini. Apakah perlu acara wisuda untuk murid-murid seperti itu? Hal ini bukan menyalahkan pihak mana pun, tetapi mencoba untuk mengintropeksi diri, apakah benar dan harus dilakukan acara seperti itu?
Lalu, berlanjut ke jenjang SD, SMP, dan SMA yang katanya wajib sekolah sembilan atau dua belas tahun. Untuk sekolah negeri, uang sekolah sudah digratiskan, mengapa masih banyak sekolah yang membebankan biaya pendidikan kepada orang tua murid dengan dalih uang pembangunan, uang komite, atau sedekah? Bukankah itu termasuk pungli? Tidak semua sekolah seperti ini, tetapi semua sekolah menjadi buruk karena praktik kotor ini.
Apakah sebrobrok ini sistem pendidikan di Indonesia?
Jangan sakit hati jika disebut brobok. Berganti pemerintah, berganti menteri, berganti pula kurikulum. Saat dulu, tugas guru mendidik dan mengajar. Sementara di zaman sekarang? Murid diminta bereksploritas sebebas mungkin, sedangkan guru diajak berkompetisi, seperti menjadi guru penggerak, menjadi guru kreatif, inovatif, dan berkarya sehingga guru-guru tersebut lebih fokus akan laporan-laporan administrasi daripada tumbuh kembang anak.
Kembali lagi, jangan tersinggung dan jangan sakit hati, apakah benar sistem pendidikan di Indonesia ini sangat brobrok? Jika tidak brobrok, mengapa Indonesia di urutan 60-an dalam minat membaca, padahal anak TK sudah diwajibkan tahu dengan huruf dan pada kelas 1 SD sudah diwajibkan pandai membaca?
Lantas, siapa yang patut disalahkan? Dalam kasus ini, tidak ada yang salah maupun benar. Intropeksi diri merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh semua kalangan, baik guru, pemerintah, murid, bahkan orang tua. Jangan pernah berpikir bahwa anak yang dititipkan ke sekolah, sepenuhnya didik saat sekolah. Ingatlah jika madrasah pertama anak-anak adalah rumah.
Indonesia, Mei 2024
Comments