Saat seseorang mendengar kata pena, kertas, dan isi hati, tentu yang terbesit terlebih dahulu mengenai perasaan yang harus diungkapkan. Tentu tiga kata tersebut memiliki makna yang luas dan bisa diartikan oleh masing-masing individu menurut keperluan mereka masing-masing. Begitu juga dengan saya. Bagi saya pribadi, kata pena, kertas, dan isi hati indentik dengan penulis.
Seorang penulis atau pengarang, tentu tidak asing lagi dengan tiga kata itu. Mereka, para pelaku dan pegiat literasi, senantiasa mencurahkan isi hati ke dalam kertas, menggunakan pena. Entah apa itu yang dibuat, tentu hanya mereka yang paham. Akan tetapi, kali ini saya akan membahas tiga kata itu dalam sudut yang sedikit spesifik yakni puisi.
Siapa yang tidak kenal puisi? Pasti semua orang pernah membaca atau setidaknya mendengar pujangga membacakan puisi. Tentu setiap puisi yang ada memiliki ruh yang berbeda, tergantung siapa penciptanya.
Menurut KBBI, puisi merupakan ragam sastra yang bahasannya terikat oleh irama, mata, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi juga memiliki arti yakni gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Puisi itu sendiri terbagi menjadi beberapa, yakni puisi baru, puisi bebas, puisi berpola, puisi dramatik, puisi esai, puisi lama, dan puisi mbeling. (Untuk penjelasan lebih lanjut, bisa dilihat di KKBI daring atau aplikasi KKBI V).
Lalu, apa hubungan puisi dengan pena, kertas, dan ungkapan isi hati?
Secara garis besar, berpuisi merupakan meluapkan isi hati. Apa yang dirasakan oleh pujangga, baik atau buruk mengenai rasa, mereka akan mengungkapkan melalui puisi. Tentu media yang mereka gunakan secarik kertas dan pena. Nah, pena di sana hanya umpama, yakni tidak mengandung makna yang sebenarnya bagi saya pribadi. Bisa saja pujangga hanya memiliki pensil untuk menulis puisi, bisa saja pujangga hanya memiliki arang untuk menulis. Iya, begitulah di sastra, apa pun bisa terjadi jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Begitu pula dengan kertas. Pujangga tidak semata-mata menulis dengan kertas. Bisa saja dirinya menulis atau mengukir di atas batu, atau mengungkapkan isi hati di dinding kosong. Iya, semua bisa terjadi.
Kembali ke pembahasan awal. Seorang pujangga, berhak mengunggkapkan isi hati mereka dalam bahasa apa pun. Apakah pujangga itu ingin bersumpah ria, menyindir, bertindak anarkis dengan bahasa yang ditulis, atau sarkasme, itu menjadi hak mereka. Ingin menyinggung satu pihak pun diperbolehkan untuk pujangga jika dia mampu dan ingin. Begitulah hebatnya seorang pujangga. Mereka memiliki hak mutlak berdasarkan apa yang ditulis. Tentu urusan sangsi sosial dihilangkan dulu, bagian penting isi hati sudah tersampaikan.
Lalu, muncul pertanyaan. Apakah tanpa pena dan kertas, puisi bisa disampaikan? Hei, tentu bisa. Komponen terakhir masih menjadi bagian utama dalam pembuatan puisi, yakni isi hati. Bagi saya pribadi, menulis puisi tidak perlu mengikuti kelas yang berjuta-juta, cukup patahkan saja hati Anda dengan mencintai anak manusia, lalu Anda akan bisa merangkai kata sederhana tentang perasaan atau putus cinta.
Mari, saya beri contoh saat hati saya patah karena mencintai orang yang salah dengan latar malam dan sunyi.
Akulah si Bangsat Itu!
Meringkuk aku membiarkan suara bising membuai-buai di labirin hati. Memekak kenangan, saling menyalahkan satu sama lain. Terpaku otak tanpa tahu harus berbuat apa. Jangan tanyakan hati. Ia menyesak seakan-akan paling tersakiti. Lantas, siapa yang egois di antara kisah yang hancur ini?
Di kesuyian malam, cahaya bulan perlahan-lahan redup, seakan-akan tidak ingin menemani hatiku yang hancur karena ditinggal pergi oleh si empu hati. Bangsat, memang! Dipikir-pikir lagi, akulah bajingan yang tidak tahu diri itu. Merasa paling dimiliki, ternyata ditampar kenyataan bahwa cinta si empu bercabang layaknya akar pohon beringin.
Indonesia, 13 Mei 2023
Bahasa yang sederhana, bukan? Tanpa ada kata-kata indah yang membuat pembaca pusing untuk mencari arti dari kata itu sendiri. Tentu, permainan kata harus diperhatikan jika ingin mendapatkan keindahan dalam membacanya.
Nah, kesimpulan akhir, pena, kertas, dan isi hati bisa saja mencakup semua hal, tidak terkhusus puisi. Bisa saja, coretan-coretan harian seperti buku diari. Tentu, semua itu tergantung sudut pandang orang menilai
Comments