Mahkamah Pidana Internasional de Den Haag, Belanda, pada hari Rabu (02/03) mengumumkan telah memulai penyelidikan tentang kemungkinan adanya kejahatan perang dalam invasi Rusia ke Ukraina yang mulai dilancarkan pada 24 Februari lalu. Amnesty International sebelumnya menyebutkan bahwa Rusia telah melakukan “serangan membabi buta” di Ukraina.
Dalam sebuah pernyataan, Jaksa Ketua ICC Karim Khan menulis bahwa ada “dasar yang masuk akal” untuk membuka penyelidikan, dan upaya pengumpulan bukti sekarang telah dimulai. Namun, apakah yang dimaksud sebagai “kejahatan perang” menurut hukum internasional? Apakah bedanya dengan “kejahatan terhadap kemanusiaan?”
Kejahatan perang didefinisikan sebagai “pelanggaran serius terhadap hukum humaniter selama konflik”. Definisi tersebut ditetapkan dalam Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berasal dari Konvensi Jenewa tahun 1949 dan didasarkan pada gagasan bahwa individu dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan suatu negara atau militernya.
Kantor PBB untuk Pencegahan Genosida dan Tanggung Jawab untuk Melindungi membedakan kejahatan perang dari genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan perang didefinisikan sebagai tindakan yang terjadi dalam konflik domestik atau perang antara dua negara atau lebih, sedangkan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dapat terjadi di masa damai, atau selama agresi militer sepihak terhadap sekelompok orang yang tidak bersenjata.
Ada daftar panjang tindakan apa saja yang dapat dianggap sebagai kejahatan perang. Antara lain penyanderaan, pembunuhan yang disengaja, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi terhadap tawanan perang, memaksa anak-anak untuk berperang.
Tapi dalam praktiknya, ada banyak area abu-abu. “Hukum perang tidak selalu melindungi warga sipil dari kematian,” kata Mark Kersten dari Munk School of Global Affairs and Public Policy di University of Toronto kepada DW. “Tidak semua kematian warga sipil adalah hasil tindakan ilegal.”
Penggerebekan di kota atau desa, pengeboman bangunan tempat tinggal atau sekolah, bahkan pembunuhan kelompok warga sipil tidak otomatis merupakan kejahatan perang — jika ada “kebutuhan militer yang bisa dibenarkan”. Tindakan itu dapat menjadi kejahatan perang, jika mengakibatkan kehancuran yang tidak perlu, menyebabkan penderitaan dan korban jauh melebihi keuntungan militer dari serangan tersebut.
Untuk memutuskan apakah seorang individu atau militer telah melakukan kejahatan perang, hukum humaniter internasional menetapkan tiga prinsip: pembedaan, proporsionalitas, dan kehati-hatian.
Proporsionalitas melarang tentara menanggapi serangan dengan kekerasan yang berlebihan. “Jika seorang tentara terbunuh, misalnya, Anda tidak bisa mengebom seluruh kota sebagai pembalasan,” kata Kersten kepada DW. Kewaspadaan mensyaratkan pihak-pihak yang berkonflik untuk menghindari atau meminimalkan kerugian yang dilakukan terhadap penduduk sipil.
Akhirnya, “prinsip pembedaan mengatakan bahwa Anda harus terus-menerus mencoba membedakan antara penduduk dan objek sipil dengan pelaku yang berperang,” kata Kersten, seraya menambahkan bahwa ini bisa jadi sangat sulit.
“Misalnya, menyerang barak yang ada orangnya dan mereka mengatakan bahwa mereka tidak berpartisipasi dalam konflik, itu bisa menjadi kejahatan perang,” katanya. “Hal yang sama berlaku untuk tindakan mengebom pangkalan militer di mana ada generator yang memasok listrik ke rumah sakit.”
Dalam banyak situasi, populasi sipil dan militer semakin sulit dibedakan. “Ada penyabot, ada pejuang yang berpakaian sipil,” kata Mark Kersten. “Pejuang sering menyamar dalam perang sepanjang waktu. Ini adalah taktik yang sangat umum.”
Dalam pengusutan, para penyelidik ICC akan berusaha menemukan dan mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menunjukkan bahwa individu tertentu bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Comments