“SAYA BERUNTUNG” mungkin inilah kata yang mampu mewakili rasa senang dan sekaligus bangga yang bisa saya ucapkan. Perjumpaan saya secara langsung dengan tokoh hebat dunia yang merupakan cendikiawan muslim Indonesia, yang digelari Bapak Moral Bangsa, dan sekaligus mantan Ketua PP Muhammadiyah, yaitu Prof. H. Ahmad Syafii Maarif yang selanjutnya biasa dipanggil Buya ini.
Buya Syafii Maarif adalah tokoh cendikiawan Muslim yang senantiasa peduli dengan nasib permasalahan-permasalahan bangsa ini, baik melalui karya-karya beliau maupun melalui tindakan-tindakan nyatanya.
Lelaki kelahiran Sumpur Kudus, Sumatera Barat ini adalah tokoh Muslim Indonesia yang memiliki kesederhanaan yang luar biasa. Figurnya yang santai namun tegas, telah membuatnya disegani oleh dalam dan luar negeri.
Pergaulan Buya yang lintas agama telah membuat hatinya senantiasa merasa terpanggil dengan kondisi-kondisi dan perpecahan-perpecahan yang terjadi di bangsa ini.
Sosok Sang Buya telah lama saya kenal melalui berbagai karya-karyanya, baik dalam bentuk buku-buku, tulisan-tulisannya, bahkan kiprah beliau di media massa.
Ahmad Syafii Maarif adalah sosok modernis, kritis dan energik. Perjumpaan saya dengan sosok tokoh luar biasa ini diawali dengan kebutuhan tesis saya yang meneliti tentang pemikiran-pemikiran beliau. Saya sering mengikuti berita-berita tentang Buya Syafii. Saya kagum dengan sosok tua yang sudah berumur 86 tahun ini. Kekaguman saya semakin baik dan bertambah ketika saya bisa berkesempatan berdiskusi secara langsung dengan Buya di kediaman Buya di Perumahan Elok II, Nogotirto, Yogyakarta , tepat satu tahun yang lalu.
Tepat pukul 16:00 WIB, saya dengan salah seorang teman serta didampingi juga oleh seorang junior saya yang sedang proses Magister di UIN SUKA Jogya kala itu, dengan bermodalkan nekat, saya dan kedua teman saya mulai menelusuri kota Jogja, mulai dari kampus UIN Jogja hingga perumahan Nogotirto Yogyakarta. Kenapa saya bilang ini nekad? Karena saya hanyalah perempuan yang tak memiliki nama besar keluarga yang akan mempermudahkan saya untuk berjumpa apalagi bercengkrama dengan seorang Buya Syafii Maarif tanpa ada perjanjian terlebih dahulu dengan orang kepercayaan beliau atau semacamnya.
Sore yang begitu cerah kala itu, membuat perjalanan kami bertiga begitu penuh dengan harap, cemas, takut dan tidak percaya diri. Ternyata cuaca yang cerah belum mampu membuat kami tenang dan secerah langit di sore itu. Namun begitu, dengan langkah dan suasana hati yang nano-nano, saya dan kedua teman saya terus menyusuri kota Jogya hingga sampai di Perumahan Nogotirto.
Perumahan Elok II, Nogotirto adalah alamat kediaman Sang Buya bersama keluarga kecilnya yang terdiri dari tiga orang anggota keluarga saja, Buya Syafii, istrinya beserta anak semata wayang beliau, Muhammad Hafids. Sesampainya di kawasan tersebut kami menghentikan mobil dan mulai bertanya kepada masyarakat yang kami temui di kawasan tersebut. Maklum, kami baru pertama ingin berjumpa dengan beliau, jadi alamat rumah Buya masih kabur-kabur.
Bermodalkan petunjuk dari masyarakat setempat akhirnya kami menemui rumah Buya yang begitu minimalis namun berasa nyaman dan sejuk dengan sedikit tumbuhan hijau di depan teras rumahnya. Bangunan coklat berlantai dua berpagar besi hitam yang terkunci itu, membuat siapapun ingin berlama-lama dengan suasana rak-rak buku yang begitu jelas terlihat dari balik jendela rumah tersebut.
Temanku memencet bel rumah, berharap tuan rumah keluar dari kediamannya. Namun sudah dua kali bel dipencet, belum juga ada tanda-tanda dari tuan rumah keluar. Dan untuk ketiga kalinya saya beranikan diri untuk memencet bel rumah berlantai dua tersebut. Syukur, ada sahutan dari sang tuan rumah, tak lain adalah Buya Syafii Maarif sendiri. Sambil memegang buku ditangan kanannya beliau berkata “siapa” dan “dari mana”. Saya menjelaskan maksud, tujuan serta asal. Namun, dengan sahutan awal beliau yang mengatakan bahwa ia belum bisa ditemui oleh siapapun yang disebabkan beliau lagi sakit membuat kami sedikit kecewa. Namun, saya tak mau menyerah, karena yang butuh disini adalah saya, dan saya datang juga dari jauh, saya tak mau pulang dengan tangan kosong, dalam artian tak bisa berjumpa dengan Buya.
Kondisi saat itu sudah mulai magrib, tidak beberapa menit lagi magrib akan datang menyongsong dengan tenggelamnya rona merah kejinggaan di ufuk langit Nogotirto. Lalu beliau mengisyaratkan saya agar mengirimkan pesan kepada ponsel beliau. Akhirnya saya mendapatkan isyarat dari beliau agar bertemu dengan beliau di masjid Nogotirto dekat kediaman beliau. Buya Syafii Maarif sering menghabiskan waktunya di masjid tersebut hingga isya menjelang dan jika beliau tidak ada acara di luar kota.
Saya betul-betul takjub dan tercengang dengan kesederhanaan beliau beserta istrinya Buk Syafii. Orang besar dengan ilmu yang luar biasa, yang merupakan tempat para elit negara untuk meminta nasehat kepadanya, yang tak terkecuali juga president RI yang senantiasa ingin menjadikan Buya sebagai penasehatnya. Namun beliau dengan kerendahan hati dan kesederhanaannya menolak semua kemewahan itu. Inilah komitmen dari seorang Ahmad Syafii Maarif yang tak ingin bersentuhan dengan dunia politik yang kata beliau itu “politik itu kotor”.
Diskusi singkat saya dengan Sang Buya berlangsung antara Magrib dan Isya di masjid Nogotirto tersebut dengan kepuasan batin bisa berjumpa, bercengkrama, berdiskusi, dan bersalaman langsung dengan sosok kebanggaan semua umat ini. Di sepanjang diskusi, Buya senantiasa menegaskan kepada saya, dan teman-teman untuk mengedapankan keadilan di dalam menjalani setiap kehidupan ini. Keadilan adalah benteng pertama untuk menegakkan perdamaian antar sesama manusia.
Selamat ulang tahun Buya, ke-86. Semoga senantiasa menjadi pencerah bagi semua, dan tetap konsisten dengan kediriannya. Dan semoga Buya dan keluarga senantiasa diberi keberkahan untuk tetap menyumbangkan pemikirannya untuk kemaslahatan umat ini.
Comments