Beredar pemberitaan di media sosial, jejaring sosial dan beberapa portal media yang menyebutkan ada tiga daerah yang kepala daerahnya menolak penerapan SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah. Terdapat narasi yang menyatakan kepala daerah Banyumas, Ciamis, dan Pariaman menolak penerapan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri terkait aturan berpakaian di sekolah. Selain narasi, pengunggah juga menyebarkan tangkapan layar artikel dari salah satu media daring berisi pernyataan Mantan Wali Kota Padang periode 2004-2014 Fauzi Bahar yang mengapresiasi langkah ketiga bupati di atas karena menolak SKB 3 Menteri.
Setelah dilakukan penelusuran, ada yang perlu diluruskan terkait beredarnya informasi tersebut. Bupati Banyumas Achmad Husein dan Bupati Ciamis Herdiat Sunarya tidak pernah menolak SKB 3 Menteri soal seragam sekolah. Namun demikian, memang benar kepala daerah Pariaman, dalam hal ini Wali Kota Pariaman Genius Umar menoak SKB 3 Menteri tersebut.
Genius menilai, SKB 3 Menteri itu tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni menciptakan peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Saya tidak takut diberi sanksi, karena tidak melaksanakan SKB 3 Menteri itu,” kata Genius seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (16/2/2021).
Sementara itu, tangkapan layar artikel berjudul “Fauzi Bahar Seru Kepala Daerah Menolak SKB 3 Menteri” yang turut dibagikan lewat media sosial facebook yang beredar, adalah dari media Republika.co.id yang tayang pada Selasa, 16 Februari 2021, pukul 17.14 WIB.
Jadi dapat Disimpulkan bahwa hanya kepala daerah dari kota pariaman saja yang menolak secara tegas SKB tiga menteri ini. Kemudian ditambah dengan ajakan dari mantan walikota Pada fauzi bahar yang mengajak kepala daerah untuk menolak SKB 3 Menteri Ini dengan menyiapkan 300 orang pengacara untuk menggugat di Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana dilansir lewat lama republika.co.id.
Selanjutnya CNN Indonesia .com menyebutkan bahwa Politikus PAN: Sumbar Sangat Sangat Menolak SKB 3 Menteri dalam tagline beritanya yang tayang pada Kamis, 18/02/2021 pukul 01:25 WIB.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus mengklaim warga Sumatera Barat keberatan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang seragam dan atribut keagamaan.
“Yang jelas kita Sumatera Barat sangat, sangat menolak adanya SKB Tiga Menteri ini,” kata Guspardi dalam diskusi virtual bertajuk ‘SKB Tiga Menteri Untuk Apa?’, Rabu (17/2).
Dia juga menyangsikan bakal ada perubahan signifikan terkait penggunaan atribut keagamaan ataupun seragam sekolah di daerah tersebut. Pasalnya, jelas Guspardi, penggunaan seragam sekolah sudah menjadi perjanjian awal antara komite sekolah dengan wali murid. Komite sekolah juga telah bersepakat akan menjalankan filosofi adat Minang dengan menonjolkan kearifan lokal.
Belajar Dari Insiden Yang Telah Terjadi
Sejatinya, SKB 3 Menteri terkait pakaian seragam sekolah berfungsi utama agar kejadian terkait pemaksaan pemakaian seragam sekolah yang bercorak dengan agama tertentu tidak terulang lagi. Apalagi kejadian menimpa sekolah dengan status sekolah negeri yang seharusnya menjadi sekolah utuk semua golongan tanpa harus memakai atribut dari agama tertentu.
Sejarah mencatat setidaknya ada beberapa pemaksaan terhadap atribut sekolah yang berbau keagamaan tertentu.
Pertama, larangan siswa menggunakan jilbab lewat tata tertib sekolah di SMAN 2 Denpasar. Meskipun aturan tidak disebutkan secara eksplisit, siswa yang menggunakan seragam berbeda tetap dianggap melanggar aturan sekolah. Kedua, larangan siswa menggunakan tutup kepala lewat pengumuman di SMAN 5 Denpasar (2014) membuat siswa yang ingin memakai jilbab menjadi mengurungkan niatnya. Ketiga, larangan secara terang-terangan bagi siswa untuk menggunakan jilbab di SMPN 1 Singaraja, Bali.
Selanjutnya, pada 2017 terjadi dua peristiwa serupa. Pertama, kasus di SMAN 1 Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu siswa berjilbab dilarang menggunakan rok panjang. Kedua, kasus di SMPN 3 Genteng Banyuwangi dimana peraturan sekolah mewajibkan siswa untuk menggunakan jilbab meski non-Muslim.
Pada 2018, muncul kasus di SMAN 2 Rambah Hilir, Rokan Hulu, Provinsi Riau, yaitu aturan tidak tertulis atau imbauan secara lisan agar siswa menggunakan jilbab. Penggunaan jilbab dianggap sebagai budaya sejak sekolah tersebut berdiri.
Kemudian, pada 2019, SD Inpres 22 Wosi Manokwari mengeluarkan aturan tidak tertulis atau imbauan lisan berupa larangan menggunakan jilbab. Aturan tersebut diklaim sudah ada sejak berdirinya sekolah.
Pada tahun yang sama, SDN Karang Tengah 3 Gunung Kidul, Yogyakarta, mewajibkan siswa baru (kelas I) untuk menggunakan seragam Muslim.
“Pada tahun ajaran berikutnya seluruh siswanya (di SDN Karang Tengah 3) wajib menggunakan seragam Muslim,” kata Heru.
Pada 2020, kasus intoleransi penggunaan seragam muncul di SMAN 1 Gemolong Sragen dimana siswa dipaksa menggunakan jilbab oleh pengurus Rohani Islam (Rohis). Terakhir, kasus tahun 2021 di SMKN 2 Padang bahwa siswa diwajibkan menggunakan busana Muslim sesuai dengan Peraturan Daerah yang dibuat wali kota sejak 2005.
Pemaksaan Peraturan dari sekolah berdasarkan hal-hal yang sifatnya eksklusif seharusnya tidak terjadi. Apalagi sifatnya mengandung unsur agama,suku dan budaya yang dipaksakan di lingkungan sekolah dengan status sekolah negeri. Jika aturan diberlakukan pada sekolah khusus seperti sekolah agama, hal itu menjadi berbeda lagi. Sekolah negeri seharusnya menunjukkan wajah indonesia itu sendiri yaitu berbeda-beda tapi tetap satu jua.
Comments