Poso pernah menjadi tempat konflik komunal umat Islam dan Kristen yang dimulai pada Jumat, 25 Desember 1998. Pembantaian kelompok Kristen terhadap Islam mengakibatkan bangkitnya rasa solidaritas Muslim di daerah lain untuk membantu saudara-saudaranya di Poso.
Konflik tersebut akhirnya melahirkan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT), sebuah kelompok garis keras Islam. Kelompok MIT menjadi lawan dari Fabianus Tibo dan kawan kawan, salah satu panglima yang diduga kelompok radikal Kristen/Katolik.
Sejak itulah kelompok MIT bercokol di Poso dan sekitarnya. Pascakonflik itu, MIT justru dianggap sebagai kelompok yang diduga sebagai teroris oleh aparat keamanan.
Mereka tidak berdiri sendiri, namun bagian dari jaringan internasional. Senin (30/06/14) sebuah video diunggah di Youtube berdurasi 12.30 menit. Isinya baiat kelompok MIT yang berada di Poso, Sulawesi Tengah, kepada Daulah Islam atau Khilafah Islamiyyah atau ISIS. Deklarasi dilakukan pada Ahad 1 Ramadhan 1435 H.
“Pernyataan baiat Mujahidin Indonesia Timur kepada Daulah Islamyyah Irak dan Syam (ISIS) dari Abu Wardah Santoso Asy Syarqy Al Indunisy kepada Amirul Mukminin Abu Bakar al-Husainy al-Qurasy al-Baghdady, Amir Daulah Islamiyah Irak dan Syam,” tutur narator yang suaranya adalah Abu Wardah.
Dukungan untuk jaringan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) di Indonesia diorganisasi oleh sejumlah kelompok radikal lokal Islam. Motor utamanya, antara lain, Jemaah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Baasyir, terpidana kasus terorisme.
Menurut pemerhati masalah radikalisme Nasir Abas, selain kelompok Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso juga telah berbaiat pada ISIS. Menurut Nasir, banyak pihak luar yang bukan anggota kelompok ini namun mendukung ISIS, akhirnya memutuskan bergabung. Namun, MIB dan MIT tidak terafiliasi dengan Jemaah Ansharut Tauhid (JAT).
Selanjutnya, kelompok Bima yang disebut Nasir sebagai gabungan anggota MIT dan MIB juga mendukung ISIS. Kelompok lain seperti Jundullah dikatakan Nasir tak terlibat ISIS. “Jundullah sudah tidak ada,” ujar mantan anggota kelompok teroris Daulah Islamiyah itu
Bentuk dukungan kelompok ini, ujar Nasir, dengan menyetujui perjuangan ISIS. Banyak anggota kelompok tersebut yang berhasrat berangkat ke Suriah untuk memberi dukungan langsung. Anggota kelompok Indonesia juga melakukan eksekusi langsung seperti di Poso.
Nasir menyebut, kelompok tersebut dapat terkoneksi dengan ISIS melalui internet. Dia belum dapat memastikan apakah teror yang dilakukan kelompok di Indonesia seperti ancaman melalui telepon dan SMS adalah perintah langsung dari ISIS di Suriah. “Yang jelas mereka mendukung dan ingin melakukan apa yang dilakukan ISIS di sana,” kata Nasir.
Mantan Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen (purn) Saud Usman Nasution pada tahun 2016 lalu menyebut, ada lebih dari 10 kelompok di Indonesia yang menyatakan dukungan pada ISIS. Di dalam negeri, mereka membantu proses rekrutmen orang untuk dikirim ke Suriah, menyebarkan propaganda ISIS, serta menggalang bantuan keuangan. “Media sosial sebagai sarana penyebaran paham tersebut,” kata Saud.
Mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara Asad Ali menyebut, kelompok inti pendukung ISIS adalah JAT dan Tauhid Wal Jihad. Selain itu juga ada kelompok MIB, MIT, dan Al Mujahirun yang merupakan fraksi radikal dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Menggantikan Solo
Kelompok MIT dipimpin oleh Santoso alias Abu Wardah, asli orang Jawa, bukan asal Poso, Sulawesi Tengah. Kelompok MIT berada di kawasan hutan Gunung Tamanjeka, Poso, merupakan generasi dari jaringan kelompok lama dari sel Abu Umar dan Noordin M Top.
Peranan Santoso dalam jejaring kelompok yang diduga teroris itu adalah sebagai pemimpin dan instruktur dalam pelatihan paramiliter di beberapa daerah. Termasuk pelatihan kelompok Farhan di jalur pendakian Gunung Merbabu Jawa Tengah.
Menurut Fajar Purwadidada, pemerhati masalah terorisme, kini MIT merupakan sentral dari gerakan jaringan kelompok teroris di Indonesia. Hampir semua gerakan yang diduga teroris saat ini merupakan jaringan pendukung MIT.
“Selain di Poso, juga tersebar di Jawa, Sumatra, dan Nusa Tenggara Barat. MIT sebagai pengganti kendali perjuangan yang sebelumnya didominasi jaringan Solo,” kata Fajar, seperti tertulis dalam blognya.
Embrionya adalah pembantaian umat Islam oleh umat Kristen pada akhir desember 1998. Dari situlah berdatangan Mujahidin dari berbagai daerah terutama yang sebagian besar dari Jawa untuk berjihad melawan Kristiani.
Sejarah konflik tersebut menjadikan Poso sebagai tempat strategis bagi kelompok yang diduga teroris untuk mengembangkan jaringannya. Hal itu didukung oleh berbagai macam komponen, seperti medan yang sangat mendukung untuk dijadikan tempat pelatihan. Banyak wilayah pegunungan, lembah, dan hutan yang strategis untuk latihan dan persembunyian.
Poso, lanjut Fajar, dijadikan sebagai ‘tanah suci’ atau ‘tanah jihad’ bagi kelompok terduga teroris. Anggotanya belum dikatakan berjihad kalau belum menginjakkan kakinya di tanah Poso. Keberadaan mereka di Poso dapat bertahan lama sejak dari konflik 1998 hingga kini.
Pada masa konflik, umat Muslim banyak dibantu oleh pejuang Muslim (Mujahidin) yang berasal dari luar untuk memerangi musuh mereka (Nasrani). Kemudian pejuang Muslim yang berasal dari wilayah luar Poso tersebut dianggap sebagai pahlawan oleh para kelompok Muslim di Poso. Sebab, aparat keamanan pada saat itu dianggap tidak bisa menyelesaikan konflik yang diduga bernuansa agama tersebut.
Hal itu yang dimanfaatkan oleh para terduga teroris untuk menjadikan Poso sebagai ‘tanah suci’ atau tanah idaman dalam melakukan doktrin jihad. Selain itu di Poso masih banyak senior-senior jihadis yang dianggap memiliki pengalaman-pengalaman, seperti merakit bom dan membuat senjata.
Pada 18 Juli 2016, Satgas Operasi Tinombala telah menembak mati pemimpin MIT Santoso bersama dengan salah satu pengikutnya, Mukhtar. Pada 14 September 2016, Basri, tangan kanan serta orang kepercayaan Santoso, ditangkap bersama istrinya oleh Satgas Operasi Tinombala di desa Tangkura, Pada hari yang sama, Andika Eka Putra tewas dan beberapa hari kemudian, Sobron juga tewas.
Pada tanggal 10 November 2016, Yono Sayur tewas setelah kontak tembak dengan pasukan gabungan.
Ali Kalora, adalah seorang militan Islam Indonesia dan merupakan pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menggantikan Santoso. Ia diduga bersembunyi di hutan belantara di sekitar Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah bersama dengan sisa kelompok MIT.
Setelah Santoso tewas pada tanggal 18 Juli 2016, dirinya diduga menggantikan posisi Santoso sebagai pemimpin di kelompok MIT bersama dengan Basri. Setelah Basri ditangkap oleh Satgas Tinombala, Mantan Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menetapkan Ali Kalora sebagai target utama dari Operasi Tinombala pada september 2016 yang lalu.
Lanjutan Jamaah Islamiayah (JI)
Sesungguhnya, Poso sempat dijadikan incaran kelompok JI (Jamaah Islamiyah) pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Kelompok militan yang didirikan di Johor Bahru, Malaysia, itu pernah mendirikan cabang di wilayah ini.
Cabang JI dimaksudkan untuk dapat membangun pusat latihan tempur meski akhirnya niat itu tidak terwujud sempurna. Banyak kader-kader utama kelompok JI, seperti Ali Ghufron, Imam Samudra, Doktor Azahari, Noordin M Top, Amrozi, dan generasi di bawahnya terlibat serangkaian bom di Indonesia.
Konflik komunal Poso yang merenggut korban ribuan jiwa semakin membuat wilayah ini menjadi basis utama para jihadis Indonesia setelah kerusuhan di Ambon, Maluku, mereda. Setelah konflik Poso berhasil didamaikan, sisa-sisa kelompok militan masih bertahan dan membuat basis-basis baru.
Gerakan MIT mendapatkan dukungan dari kelompok terduga teroris lain yang terhubung dalam jaringannya. Seperti, kelompok Abu Roban (Mujahidin Indonesia Barat /MIB). Sebuah sel yang berperan untuk mendapatkan dana/kekayaan melalui perampokan (fa’i) di berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta. Hasil dari dugaan perampokan itu sebagian dibelikan persenjataan dan dikirimkan ke Poso untuk mendukung aksi dan pelatihan teroris.
Comments