By Nuraini Chaniago
Indonesia adalah bangsa yang plural, penuh dengan kemajemukan baik dari segi ras, suku, warna kulit, tradisi, adat, bahasa, bahkan agama. Keberagaman ini adalah sebuah keniscayaan dari Tuhan yang mesti kita jaga dengan toleransi secara lapang dada, saling memahami satu sama lainnya, tanpa adanya intervensi sebagai mayoritas dan minoritas. Negara mengakui dan mengatur Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan melalui UU yang menjadi sentral kita dalam menjalankan hukum negara.
Beragama atau tidak, itu adalah hak setiap orang yang harus kita hargai selaku penduduk bangsa ini, karna memang tidak ada paksaan dalam beragama. Secara teori Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan memang telah diakui oleh negara dan masyarakat kita. Namun realitanya secara praktik masih saja jauh panggang dari api. Terbukti hingga hari ini, berbagai kasus dan isu-isu intoleransi, intervensi, dan diskriminasi kepada minoritas masih saja tumbuh dengan subur di negeri ini.
Isu agama adalah isu yang sangat laris diperdagangkan oleh aktor-aktor tertentu untuk kepentingannya sendiri yang akhirnya memperkeruh dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa yang dibingkai dalam keberagaman ini. Begitu juga dengan Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dimiliki Indonesia yang terkenal dengan sebutan Minangkabau atau “Orang Minang”. Minangkabau memang bisa dikatakan sebagai jelmaan dari Indonesia versi kecil. Dalam artian, Masyarakat Sumatera Barat juga terdiri dari berbagai suku, ras, agama, adat, budaya, serta agama.
Walau tak bisa dipungkiri bahwa Sumatera Barat adalah moyoritas bersuku Minang yang memang masih sangat kental dengan agamanya. Secara umum memang masyarakat Sumatera Barat menyatakan bahwa toleransi di antara masyarakat yang berbeda aman-aman saja, tidak ada pergesekan apapun, apalagi kekerasan. Namun realitanya jika kita mau melihat dan meneliti lebih mendalam lagi.
Pengalaman saya sebagai mayoritas yang terlibat diberbagai komunitas-komuntas Lintas Agama di Sumatera Barat menjadi merasa tertampar melihat kasus-kasus diskriminasi yang masif terjadi di masyarakat yang katanya toleran dan menjunjung tinggi slogan “Adat Basandih Syarak, Syarak basandih Kitabullah” ini.
Mulai dari pelarangan perayaan Natal bagi umat Kristiani diberbagai daerah di Sumatera Barat, Pemaksaan jilbab bagi siswi Non Muslim di berbagai sekolah negeri di kota Padang, Bukittinggi dan sebagainya, adanya kasus-kasus orang tua yang melarang anaknya untuk les karena adanya keikutsertaan anak-anak dari Non Muslim di Padang Panjang, adanya pembatasan rumah kos-kosan bagi mahasiswi Non Muslim di kampus-kampus negeri di Bukittinggi dengan alasan takut membawa pengaruh buruk bagi mahasiswi yang Muslim, tertutupnya akses ruang public bagi minoritas, seperti Jemaat Ahmadiyah yang dikucilkan dari masyarakat kota padang, dan sebagainya.
Maka melalui pengalaman pribadi ini, maka rasanya kita perlu meninjau kembali makna dan persepsi perihal toleransi itu secara utuh, serta meninjau kembali makna Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di lingkungan Masyarakat Minang ini. Apakah UU yang kita akui perihal Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama itu sudah sesuai dengan keberadaannya, ataukah memang harus ada dulu pertumbahan darah layaknya di Poso Ambon, baru bisa dikatakan bahwa toleransi di Sumatera Barat ini sedang tidak baik-baik saja?
Comments