Tulisan By Nuraini
Abdurahman Wahid atau yang kemudian kita kenal dengan sebutan Gus Dur merupakan salah satu cendikiawan Muslim yang sangat tersohor namanya. Gus Dur tidak hanya tumbuh sebagai seorang anak kyai semata, tetapi Gus Dur juga tumbuh sebagai sebagai seorang tokoh kharismatik bagi kalangan Nahdiyyin yang begitu disegani. Selama 15 tahun lebih Gus Dur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU) sebuah organisasi kaum tradisionalis yang merupakan warisan dari kakeknya.
Pemikiran Gus Dur telah memberikan warna tersendiri dalam pergumulan dinamika pemikiran intelektual muslim di Indonesia. Sebagian orang menempatkan beliau sebagai intelektual muslim yang progressive, kritis, bahkan terkesan paradok, inkonsisten, banyak mengundang kontroversi, maupun menjadi inspirator bagi kaum muda secara umum dan kaum muda NU secara khusus.
Pemikiran Gus Dur tidak muncul secara tiba-tiba atau hanya dalam ruang kosong saja, tetapi pemikiran dan tindakannya lahir melalui proses dialektika dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya.Proses dialektika pemikiran Gus Dur tersebut melalui tiga proses yang saling berkaitan, yaitu; pertama, eksternalisasi yang berupa ekspresi diri ke dalam dunia. Kedua, objektivasi, yakni suatu proses yang menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, internalisasi, yaitu penyerapan kembali dunia objektif dalam kesadaran sehingga subjektifitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.
Gus Dur banyak meninggalkan karya intelektual sebagai respon atas situasi yang ada pada saat itu. Pemikiran Gus Dur senantiasa bersentuhan dengan Hak-Hak Manusia, Demokrasi, dan serta toleransi yang senantiasa menjadi perbincangan di negeri yang plural ini. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk kerap kali dimanfaatkan oleh aktor-aktor tertentu demi kepentingan pribadinya, sehingga agama menjadi salah satu permasalahan yang begitu mudah dimanfaat untuk memicu konflik antar sesama yang berbeda.
Gus Dur senantiasa memposisikan toleransi sebagai benteng utamanya dalam bertindak dan berfikirnya, sikap toleransi yang digaungkan oleh Abdurrahman Wahid tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan seseorang, melainkan pada hati dan prilaku, Bagi Gus Dur orang yang bersikap toleran tidak harus memiliki kekayaan. kedudukan tinggi, ataupun pengaruh besar, bahkan sikap toleran justru sering dimiliki oleh orang-orang yang biasa saja.
Toleransi dalam bahasa arab sering disepadankan dengan kata tasamuh yang berarti membiarkan sesuatu untuk saling mengizinkan dan saling memudahkan. Dari kata tasamuh tersebut bisa kita tarik sebuah makna agar diantara yang berbeda pendapat hendaknya bisa saling memberikan tempat atas pendapatnya. Sehingga masing-masing pendapat memperoleh hak yang sama dalam mengembangkan pendapatnya dan tidak saling mengintervensi satu sama lain
Comments