Penulis : Sivana Khamdi Syukria
Di tengah forum Rapat Pimpinan TNI-Polri, Presiden Jokowi mengingatkan agar para istri prajurit tentara dan polisi tidak mengundang penceramah agama radikal. Dalam leksikon komunikasi, pernyataan Presiden Jokowi ini kiranya bisa dibaca ke dalam tiga sudut pandang. Pertama, sebagai presiden yang notabene merupakan panglima tertinggi TNI sekaligus penanggung jawab tertinggi Polri, pernyataan ini kiranya bisa dimaknai sebagai teguran seorang atasan terhadap bawahannya.
Artinya, Presiden Jokowi ingin agar para pimpinan TNI dan Polri membuat aturan yang tegas ihwal acara-acara keagamaan, baik di lingkungan formal institusi maupun di lingkup non-formal seperti keluarga. Presiden Jokowi sebagai pimpinan tertinggi TNI dan Polri tidak ingin institusi yang dibawahinya disusupi paham radikal.
Kedua, sebagai pemimpin negara yang bertanggung jawab atas keutuhan bangsa yang dipimpinnya, pernyataan presiden ini merupakan sebuah seruan nasional. Ini artinya, tidak hanya lingkup TNI dan Polri saja yang harus siaga dan waspada akan infiltrasi radikalisme berbalut ceramah agama yang menjadi fenomena belakangan ini. Sebagai pemimpin negara, ia merasa harus menyampaikan pesan itu secara langsung.
Ketiga, dari tempat serta momen disampaikannya pesan tersebut, tampak benar bahwa presiden tidak menganggap enteng persoalan ceramah radikal tersebut. Dari momen dan waktunya, presiden seolah ingin menyampaikan pesan bahwa problem ceramah radikal ini sudah menyangkut persoalan keamanan dan ketahanan negara. Jadi, persoalan ceramah radikal idealnya tidak lagi semata ditempatkan murni sebagai persoalan sosiologis, melainkan sudah menjadi problem yuridis.
Empat Faktor Maraknya Ceramah Radikal
Jika diamati, fenomena ceramah radikal ini dilatari oleh setidaknya tiga faktor. Pertama, terbukanya keran kebebasan berpendapat yang dihadiahkan oleh gerakan reformasi 1998. Harus diakui bahwa demokratisasi yang diusung oleh gerakan reformasi tidak selamanya berbuah manis. Di balik itu, ada sejumlah residu yang ditinggalkan. Salah satunya ialah munculnya gerakan keagamaan konservatif yang mewujud salah satunya pada fenomena ceramah radikal.
Kedua, terjadinya gelombang arus penyebaran ideologi islam transnasional yang mengusung gerakan khilafah islamiyyah dan sejenisnya. Seperti kita tahu, ideologi transnasional dalam banyak hal bertentangan dengan NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Para penyebar ideologi islam transnasional acapkali membangun persepsi bahwa NKRI, Pancasila dan UUD 1945 bertentangan dengan ajaran Islam. Para pengasong ideologi islam transnasional itulah yang membajak panggung dakwah dengan ceramah keagamaan radikal.
Ketiga, maraknya praktik politisasi agama yaitu menjadikan identitas keagamaan sebagai komoditas politik untuk meraih kekuasaan. Fenomena politik identitas yang marak selama satu dekade terakhir ini tidak pelak telah mengotori mimbar dakwah keagamaan kita dengan narasi kebencian baik terhadap kelompok lain yang dianggap sebagai lawan politik. Fenomena politisasi agama itu pun lantas menyeret sejumlah tokoh agama atau penceramah ke dalam pusaran dakwah radikal.
Keempat, kebangkitan ghirah kesalehan di kalangan umat Islam yang berujung pada menguatnya konservatisme beragama. Di satu sisi, umat Islam memang kian saleh dalam hal ritual dan mengekspresikan kesalehannya di ruang publik. Namun, di sisi yang lain umat Islam juga semakin bersikap eksklusif bahkan intoleran terhadap kelompok agama lain. Di tengah kehidupan beragama yang eksklusif dan intoleran itulah, industri ceramah radikal tumbuh subur.
Melawan Propaganda Radikalisme
Oleh karena itu penting kiranya mensterilkan ruang publik beragama kita dari propaganda radikalisme yang disebar melalui mimbar-mimbar ceramah. Ruang publik beragama idealnya diisi dengan wacana keagamaan yang konstruktif. Yakni wacana keagamaan yang sejalan dengan prinsip kebangsaan. Upaya itu tentu membutuhkan kerjasama antara pemerintah di satu sisi dan umat Islam di sisi lain.
Di satu sisi, pemerintah kiranya patut bertindak tegas pada penceramah agama radikal yang gemar menebar kebencian, provokasi, dan adu domba antarsesama umat dan pemerintah. Dalam konteks ini, negara tidak boleh kalah oleh para penceramah radikal yang berlindung di balik alibi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pemerintah tidak boleh ragu apalagi takut dalam menegakkan aturan hukum kepada penceramah agama radikal meski diserang tudingan islamophobia, anti-Islam dan sebagainya.
Di sisi lain, umat Islam harus memiliki kesadaran untuk selektif dalam memilih ceramah agama, baik secara online maupun offline. Ada adagium yang berbunyi, do not make stupid famous, alias jangan membuat orang bodoh menjadi terkenal. Dalam konteks dakwah atau ceramah agama adagium itu bermakna jangan memberikan panggung bagi penceramah radikal. Literasi keagamaan ialah kunci untuk membasmi ceramah radikal.
Literasi keagamaan yang kuat akan menuntun umat untuk mencari pengetahuan agama dari sumber-sumber yang terpercaya, bukan dari sosok yang hanya sekadar populer. Literasi keagamaan akan menjadi benteng umat dari propaganda radikalisme yang disebar melalui mimbar-mimbar keagamaan.
Comments