Siswa MTs TA Toroh Disleksia

Awal semester baru sudah berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Siswa baru juga sudah masuk, walau di minggu pertama masih memakai seragam SD/MI. Selama proses adaptasi siswa baru (kelas VII), saya selaku guru muda ikut ambil bagian dalam kegiatan assessment kemampuan baca-tulis-dan hitung.

Melalui assessment tersebut, akhirnya didapatkan 2 anak yang tidak bisa literasi dasar. Dia tidak bisa menulis Namanya sendiri, tidak bisa membedakan huruf yang sama dalam sebuah susunan huruf, serta kesulitan huruf perhuruf.

At first, saya merasa siswa tersebut hanya pura-pura, dan mempermainkan saya. Tapi ketika diganti ke guru lain, dia masih begitu. Butuh waktu lama bagi saya untuk memahami kasus anak tersebut.

Hingga sampailah saya pada kesimpulan anak tersebut mengalami disleksia. Itu adalah sebuah penyakit yang berhubungan dengan saraf sehingga penderitanya kesulitan untuk mencerna kata-kata yang ia dengar, lemah dalam menulis, susah membedakan huruf satu dengan yang lainnya.

Itu bukanlah suatu kondisi yang saya persiapkan dalam kegiatan kerelawanan di desa ini. Kemampuan untuk mengajarinya baca tulis lebih baik jika dilakukan oleh seorang terapis yang lebih mengetahui anak-anak khusus seperti ini.

Banyak orang yang tidak paham tentang disleksia, sehingga guru SDnya dan orang-orang di sekelilingnya beranggapan bahwa dia memang bodoh dan susah menangkap pelajaran. Namun hal itu belum tentu benar karena disleksia tidak berhubungan dengan tingkat intelegensi seseorang. Dedy Corbuzer adalah salah satu penderita disleksia yang terkenal dan sudah menyelesaikan pendidikan bahkan hingga S3.

Untuk keadaan sekarang ini, walau saya belum bisa membuat perubahan drastic bagi siswa saya yang disleksia dalam bidang calistung, setidaknya saya akan berusaha sebaik mungkin menjalankan peran sabagai guru yang baik. Memberikan waktu khusus bagi dia untuk bimbingan adalah usaha nyata sekolah menanggapi masalah disleksia ini.