Perayaan pesta demokrasi di Indonesia sudah mulai dilakukan sejak beberapa waktu belakangan, hingga sampai pada bulan februari 2024 mendatang. Berbagai kampanye-kampanye sudah mulai digaungkan oleh masing-masing aktor politisi yang terlibat dalam perhelatan akbar demokrasi Indonesia periode lima tahun mendatang. Baliho-baliho berbagai paslon lengkap dengan visi misinya masing-masing berjejejer disepanjang jalan-jalan dan tempat-tempat umum lainnya.
Pada tahun ini, keterlibatan para perempuan dalam ranah politik sudah semakin masif, terbukti dengan semakin banyaknya bermunculan caleg-caleg perempuan yang menghiasi berbagai lokasi pemilihan untuk memperjuangkan keterpenuhan kuota 30% kursi perempuan di parlemen. Suatu hal yang perlu kita apresiasi, karena negara sudah mulai memperhatikan keterlibatan perempuan dalam pemilihan umum dan memperjuangkan suara perempuan di ranah politik.
Namun, disisi lain juga menimbulkan kerisauan bagi banyak pihak, terutama di kalangan perempuan sendiri. Sebab, dibalik banyaknya bentuk-bentuk keterlibatan perempuan di ranah politik dewasa ini, tetap saja identitas para perempuan tersebut tidak benar-benar merdeka sebagai calon legislatif yang maju dengan kemampuan dan potensi yang mereka miliki, melainkan masih saja berlindung dibawah nama laki-laki yang memiliki kekuasaan dan nama besar lainnya yang berpengaruh.
Misalkan, beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman perempuan lainnya juga mencoba terjun ke lapangan melihat bagaimana peran para calon politisi perempuan mampu berjuang dan memperjuangkan permasalahan-permasalahan perempuan ketika mereka kampanye di berbagai kesempatan. Satu hal yang menggelitik dibenak saya dalam kesempatan tersebut ialah, banyaknya baliho-baliho caleg perempuan yang disamping namanya bertuliskan “si A sebagai istri dari si B, ataupun si C sebagai anak dari kepala daerah tertentu dan seterusnya.
Lagi-lagi, keterlibatan caleg perempuan seolah tidak memiliki pengaruh apapun dengan kediriannya, tanpa melibatkan relasi kuasa dari laki-laki. Apakah itu dari ayahnya, suaminya, pamannya, kakaknya, ataupun yang lainnya. Semakin banyak pihak laki-laki yang memiliki kekuasaan di balik nama caleg perempuan tersebut, maka semakin mempermulus jalannya para caleg perempuan tersebut menuju bangku parlemen. Tidak penting apakah visi misinya sesuai dengan kebutuhan para perempuan atau bukan, bahkan ia tak lagi dikenal dengan namanya, melainkan sebagai pihak dari yang berkuasa.
Sungguh sebuah pemandangan yang miris saat ini, bagaimana para caleg perempuan akan mampu memperjuangkan kepentingan para perempuan lainnya, jika untuk dirinya sendiri selalu diatur dan mengikuti suara serta aturan laki-laki. Bagaimana mungkin ia mampu memperjuangkan permasalahan-permasalahan kaum perempuan di tengah-tengah aturan-aturan parlemen yang masih didominasi laki-laki, jika ia saja belum mampu menyumbangkan pemikirannya sendiri sebagai keterwakilan perempuan di parlemen.
Komnas Perempuan, pada tahun 2021 mencatat bahwa sebanyak 441 Peraturan Daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Salah satunya adalah minimnya peran perempuan di ranah politik. Padahal politik sendiri pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk merebut peran kekuasaan serta akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan serta kebijkan publik. Meskipun saat ini, keterlibatan kaum perempuan tersebut sudah hampir memenuhi kuota yang ada, tapi dalam realitasnya suara perempuan masih belum mampu mewakili suara para perempuan dan permasalahannya yang akan diperjuangkan.
Para caleg perempuan masih belum leluasa menunjukkan suara mereka diberbagai kesempatan. Mereka masih harus mengikuti aturan main dan suara terbanyak yang dalam hal ini masih didominasi laki-laki. Para caleg perempuan masih kalah power dari caleg laki-laki dalam mengeluarkan kebijakan yang pro perempuan. Dominasi inilah yang kemudian seolah mengisyaratkan bahwa peran caleg perempuan saat ini hanya sekedar formalitas semata untuk memenuhi keterisian 30% bangku perlemen yang berorientasi pada perempuan.
Sedangkan dalam menghasilkan kebijakan masih menjadi kekuasaan laki-laki, sehingga berbagai aturan yang dilahirkan pemerintah masih minim keberpihakannya terhadap perempuan. Sebagai masyarakat dan juga perempuan, kita hanya mampu berdoa dan berharap kepada semua wakil-wakil dan perpanjangan suara para perempuan yang saat ini maju di kanca politik benar-benar mampu untuk mewakili suara hati para perempuan di luar sana dengan berbagai permasalahannya saat ini.
Semoga para caleg perempuan dan mereka yang terpilih nantinya tak hanya sekedar janji manis semata demi meraup suara rakyat, tetapi benar-benar mampu mewakili para perempuan untuk merebut kembali hak dan akses perempuan yang selama ini diboikot oleh kebijakan yang masih bersifat maskulin. Hari ini, permasalahan-permasalahan perempuan begitu kompleks, kedudukan perempuan dan anak benar-benar memprihatinkan, ruang amannya benar-benar dipertaruhkan. Maka, kita benar-benar membutuhkan regulasi yang tepat dari para pemangku kepentingan untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang tak lagi diskriminatif melainkan memanusiakan.
Teruntuk para caleg perempuan di luar sana, mari kita sama-sama memperjuangkan kemanusiaan ini dengan peran dan cara kita masing-masing. Majulah dan bersuaralah dengan lantang menolak diskriminasi, teruslah belajar mengasah kemampuan dan potensi diri masing-masing, sehingga kita mampu berjuang atas nama kita sebagai perempuan, bukan lagi hanya bernaung di bawah nama orang lain.
Comments