Konflik antara Palestina dan Israel, yang dimulai pada 7 Oktober 2023, telah memicu berbagai reaksi dan respon dari berbagai kalangan di seluruh dunia.Dampaknya semakin terasa berkat cakupan media yang mendalam dan ketersediaan informasi yang mudah diakses melalui berbagai platform media sosial.
Meskipun informasi yang kita terima belum selalu –lengkap–, namun kita memiliki pemahaman tentang perjalanan konflik tersebut.Dari media sosial yang tersedia, kita dapat melihat dengan jaram mata bagaimana kedua belah pihak berkonflik terlibat dalam pertempuran yang tak henti-hentinya: bangunan hancur berantakan, pekik-tangisan anak-anak, dan jumlah korban jiwa yang terus bertambah.Menurut laporan dari BBC News Indonesia (24/10), lebih dari 5.000 jiwa dari pihak Palestina dan 1.400 jiwa dari Israel telah menjadi korban konflik tersebut.
Peran Masyarakat
Konflik antara Palestina dan Israel telah membangkitkan respons sosial dari berbagai pihak, termasuk netizen dan organisasi sosial.Di tengah eskalasi konflik yang semakin merajalela, mereka berpartisipasi dengan berbagai cara, seperti mengulang tayangan peristiwa konflik, berbagi informasi, dan mengadakan aksi damai di jalanan.Selain itu, isu pemboikotan produk yang mendukung salah satu pihak juga menjadi sorotan. Dengan cara-cara yang menarik, mereka memperlihatkan dukungan mereka kepada salah satu pihak dalam konflik ini, baik Palestina maupun Israel.
Semua ini adalah hasil dari paparan media yang mereka konsumsi, yang memberikan pandangan beragam tentang konflik tersebut.Respons yang timbul ini adalah hal yang wajar dalam perspektif sosiologis. Informasi yang disampaikan oleh konflik Palestina dan Israel, meskipun tanpa disadari, telah menjadi rangsangan yang mendorong kita untuk meresponsnya.Dalam tulisan ini, reaksi tersebut dianggap sebagai wujud solidaritas atau “nilai positif” yang muncul sebagai hasil dari konflik Palestina dan Israel, yang kita kenal dengan istilah kohesi sosial.
Sebab Terbentuknya Kohesi Sosial Lintas Batas
Dalam sudut pandang sosiologis, konflik adalah fenomena yang tak terhindarkan dalam kehidupan sosial. Meskipun demikian, perlu kita sadari bahwa konflik tidak selalu mengakibatkan kehancuran dan pemisahan semata, melainkan dapat memunculkan perubahan sosial dan dampak positif lainnya. Salah satu dampak positif ini adalah kohesi sosial.
Kohesi sosial dapat didefinisikan sebagai perilaku atau tindakan yang muncul berdasarkan pertimbangan nilai-nilai solidaritas, rasa memiliki, dan kesetiaan untuk hidup bersama (Schiefer & Noll, 2017).Apa yang mendorong munculnya kohesi sosial di tengah ketegangan konflik Palestina dan Israel? Moody dan White (2003), dalam tulisan mereka tentang Social Cohesion and Embeddedness: A Hierarchical Conception of Social Groups, mengidentifikasi dua komponen dasar dari kohesi sosial: ideasional dan relasional.
Pertama, aspek ideasional mengacu pada identitas, khususnya identitas agama.Dalam konteks kohesi sosial, identitas ini memainkan peran penting dalam menciptakan rasa memiliki, terutama jika identitas tersebut bersifat serupa, seperti identitas agama yang sama, misalnya sesama Muslim ataupun sesama non-Muslim.Dalam hal ini, konflik Palestina dan Israel dilihat sebagai konflik atas nama agama, yakni Islam dan Yahudi.
Adanya kesamaan identitas ini menciptakan ikatan emosional yang kuat, dan ikatan ini, meskipun terjalin melintasi batas negara, mendorong individu untuk bertindak.
Faktor identitas dan rasa memiliki ini memainkan peran penting dalam pembentukan kohesi sosial di tengah konflik Palestina dan Israel.
Kedua, kohesi sosial juga muncul karena adanya rasa kemanusiaan yang kuat. Konflik sering kali dikaitkan dengan penderitaan, dan sebagai manusia, kita merasa terhubung dengan penderitaan tersebut.Perasaan ini mendorong kita untuk bertindak dalam rangka melindungi nilai-nilai kemanusiaan yang kita anut.Konflik Palestina dan Israel dapat dilihat sebagai benturan antara kelompok sosial, dan konflik ini telah menimbulkan banyak penderitaan dan luka di kalangan masyarakat Palestina, Israel, dan komunitas di luar wilayah tersebut.
Akibatnya, muncul persepsi bahwa apa yang terjadi di Palestina dan Israel adalah tindakan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan.Melihat penderitaan yang terjadi, nilai-nilai kemanusiaan dalam diri individu tergerak dan mendorong mereka untuk bertindak dalam bentuk solidaritas, yang pada akhirnya adalah wujud kohesi sosial.
Kita mungkin tidak dapat menentukan faktor mana yang lebih dominan dalam konflik Palestina dan Israel kali ini, tetapi satu hal yang pasti adalah kohesi sosial tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial kita.Dengan munculnya kohesi sosial yang melintas batas ini, kita berharap sensitivitas terhadap isu-isu kohesi sosial akan semakin kuat. Bahwa solidaritas yang muncul dapat menjadi pendorong perubahan positif dalam berbagai kasus konflik lokal di masa depan seperti Rempang dan Air Bangis.
Comments