Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia masih di bawah bayang-bayang disintegrasi akibat virus radikalisme dan intoleransi. Bangsa dicabik-cabik perpecahan dan permusuhan yang berakar dari maraknya nalar kebencian. Ibu pertiwi harus segera pulih dari virus intoleransi dan radikalisme untuk bangkit lebih kuat menuju harmoni bangsa.
Virus intoleransi dan radikalisme menjadi halangan terbesar untuk mewujudkan Indonesia yang harmoni dalam keberagaman. Setidaknya, ada dua elemen mendasar yang perlu dimiliki anak bangsa untuk pulih dari virus intoleransi dan radikalisme. Proses radikalisasi sering kali masuk akibat keterbukaan yang tidak diiringi sikap kritis. Hal ini mengingat strategi infiltrasi kelompok radikal yang semakin halus, canggih dan ‘cantik’. Namun, kedua hal tersebut juga harus didorong dengan penanaman literasi yang baik, karena hal ini dapat dimanfaatkan untuk membangun benteng pencegahan yang kuat.
Tentunya ini juga harus dibarengi dengan banyak literasi dan diskusi agar wawasan terbuka. Jadi ketika dihadapkan kepada oknum yang melakukan manipulasi (agama dan ideologi), maka kita bisa kita cegah dengan pengetahuan dan sikap kritis.
Indonesia dalam konteks radikalisme dan intoleransi sedang dalam kondisi ‘sakit’. Virus itu mampu melemahkan bangsa sehingga menjadi mudah dipecah-belah dan kian terjebak dalam pusara konflik.Karena bangsa yang sehat adalah bangsa yang penuh toleransi, selalu damai, dan menghargai perbedaan. Sebab virus radikalisme dan intoleransi yang melemahkan bangsa ini, dapat menghambat kemajuan bangsa dan negara kedepannya.
Kalau tidak siap menerima perbedaan, jangan lahir ke dunia. Hal tersebut menjadi bekal bagi anak, pemuda, dan masyarakat untuk menerima perbedaan dan keragaman yang harus ditanamkan sejak dini agar menjadi sifat bawaan yang melekat pada anak bangsa.
Untuk itu, peran pendidikan akan sangat efektif untuk menanamkan sikap kritis. Namun justru cara pandang kritis itu tidak betul-betul diajarkan dalam sistem pendidikan kita. Bahkan lembaga pendidikan dijadikan alat, salah satunya melalui guru-guru.Padahal,guru dan sekolah seharusnya menjadi benteng resiliensi siswa, bukan malah menjadi aktor radikalisasi siswa. Dengan kondisi itu, dibutuhkan agenda besar dari pemerintah agar secara serius memberikan penguatan kepada masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pemerintah harus betul serius menggalang kerjasama dengan masyarakat sipil, tokoh dan ormas moderat. Jadi penguatan di masyarakat sipil harus benar dilakukan yaitu bagaimana Pancasila bisa dibumikan dan berdampak positif. Berharap Pemerintah mampu membawa dan mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera, sebagai pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan pasca 77 kemerdekaan, guna mengurangi potensi radikalisme.
Comments