“Kemerdekaan kita bukan hanya merdekanya sebuah bangsa dari penjajahan, tetapi juga merdekanya setiap individu warga negara dari segala macam penindasan dan penghisapan” (Bung Hatta)
Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 17 Agustus 2021 Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-76. Berbagai rangkaian upacara pun digelar untuk memperingati para pejuang dan pendiri bangsa ini dalam merebut kekuasaan dari tangan para penjajah. Dan 17 Agustus 2021 menjadi perayaan ulang tahun yang cukup prihatin bagi seluruh rakyat Indonesia, pasalnya hampir dua tahun belakangan Indonesia merdeka dalam kondisi pandemi covid-19 yang kian memprihatinkan, kasus yang terkonfirmasi kian menanjak tinggi, bahkan nyawa yang melayangpun tak lagi dapat dibendung, dan ditambah lagi dengan kondisi rakyat Indonesia yang tak menentu di tengah ancaman pandemi yang mengganas.
Dari pesan Bung Hatta di atas dapat kita pahami bahwa perayaan dan kemenangan makna kemerdekaan belumlah benar-benar merdeka jika rakyatnya masih belum terbebas dari suatu eksploitasi, dibelenggu oleh kemiskinan, kebodohan, kekerasan, pengangguran, ketidakadilan hukum, pelecahan, KDRT, diskriminasi, intimidasi, dan lain sebagainya.
Kemerdekaan secara harfiah bisa kita pahami sebagai kemerdekaan bagi semua rakyatnya tanpa kecuali, baik perempuan maupun laki-laki harus terbebas dari segala bentuk penindasan dan penjajahan dalam bentuk apapun. Kemerdekaan juga harus dirasakan oleh semua individu untuk bebas menentukan pilihan hidupnya tanpa adanya intimidasi, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berekspresi dalam lindungan UU Dasar 1945.
Itulah makna kemerdekaan yang sesungguhnya,sebagaimana yang dipesankan oleh Bung Hatta sejak Indonesia merdeka. Harapan mulia dari pendiri bangsa ini demi kesejahteraan setiap rakyatnya. Namun faktanya masih sangat juah cita-cita dari harapan, walau secara simbolik Indonesia sudah merdeka selama 76 tahun. Jika kita berkaca dari pesan Bung Hatta di atas maka Indonesia belumlah merdeka dari berbagai bentuk penindasan, terutama terhadap kaum perempuan di Indonesia hari ini. Budaya patriarki yang masih saja merajai negeri ini telah diwariskan dari sejak berdirinya negeri ini hingga dipupuk sampai saat ini.
Budaya patriarki yang memposisikan kaum laki-laki menjadi kelas satu dibandingkan kaum perempuan. Sehingga perempuan selalu tercitra menjadi makhluk nomor dua dari berbagai segi kehidupan. Dampak dari terawatnya budaya patriarki ini membuat kaum perempuan menjadi entitas yang sering sekali dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Mitos bahwa perempuan hanya akan kembali ke dapur walau setinggi apapun pendidikan dan karirnya, semakin membuat ruang gerak perempuan menjadi lebih berat dibandingkan laki-laki.
Pesan dari Bung Hatta menjadi barometer bagi kita sebagai rakyat Indonesia untuk mengukur arti kemerdekaan yang sesungguhnya.
Terutama bagi para perempuan Indonesia yang masih jauh dari kata merdeka. Kemerdekaan yang seharusnya mampu memberikan kebebasan bagi perempuan untuk menentukan pilihan dirinya sendiri secara utuh dalam lindungan UUD 1945, namun realitas hari ini berkata lain, pasalnya berbagai kasus-kasus diskriminasi, pelecehan, kekerasan, eksploitasi, perkosaan, perdagangan perempuan,pembunuhan dan serta stigma-stigma yang membelenggu kebebasan kaum perempuan di ranah public maupun domestik terus saja lestari hingga hari ini.
Berbagai data dari berbagai NGO yang ada di Indonesia maupun Komnas Perempuan perihal kekerasan terhadap perempuan dan anak terus saja meningkat dari waktu ke waktu, dan semakin diperparah dengan kondisi pandemi hari ini. Hal demikian juga menjadi penguat anggapan bahwa tubuh perempuan hanyalah alat pemuas bagi superioritas kaum laki-laki.
Ditambah lagi dengan berbagai relasi kekuasaan dan kapitalisme dalam menempatkan posisi perempuan demi kepentingan politik maupun bisnis tertentu. Aturan pemerintah yang membuat perempuan tidak boleh begini dan begitu, tayangan televisi yang mengeksploitasi tubuh perempuan dengan standar kecantikan menurut masyarakat, yang pada akhirnya banyak perempuan melakukan berbagai cara untuk bisa mencapai standar tersebut.
Walaupun hari ini sudah banyak kebijakan yang melibatkan peran perempuan di ranah-ranah public, seperti pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya. Tetap saja regulasi tersebut masih sangat mendiskriminasi peran dan kebebasan perempuan dibandingkan kaum laki-laki yang tiada batas dan melebih peran perempuan. Pemandangan seperti ini menjadi PR kita bersama untuk benar-benar memberikan kemerdekaan secara utuh kepada perempuan dan laki-laki.
Comments