Namun tidak bagi teman saya, di awal berita kehamilannya tersebar di keluarga besarnya, pihak keluarga suaminya langsung memberikan tekanan kepadanya, bahwa ia harus melahirkan anak pertamanya laki-laki bukan perempuan. Karena dalam kebiasaan Jawa, katanya, anak pertama laki-laki adalah sebuah keberuntungan dibandingkan anak perempuan. Sampai-sampai mertua perempuannya memaksanya untuk meminum ramuan-ramuan yang menurutnya tak masuk akal setiap hari, agar anak yang dalam kandungannya berjenis laki-laki.
Fase kehamilan yang seharusnya dinikmati dengan banyak cinta dan kasih dari orang-orang terdekatnya, namun harus dilaluinya dengan harap-harap cemas, takut, bahkan sempat keluar masuk rumah sakit akibat drop dan kesehatan mentalnya mulai menurun akibat tekanan yang ia peroleh selama kehamilannya. Ia tak berani melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak pertamanya, karena ketakutannya tersebut, hingga ia harus melahirkan anak pertamanya dalam keadaan mental yang sangat terpuruk, kalau tidak bisa dikatakan hancur, hingga ia harus kehilangan satu anak kembarnya yang tidak tumbuh sempurna di dalam rahimnya akibat sang ibu yang stress dan psikis yang porak poranda akibat tekanan akan sebuah tradisi yang tidak memanusiakan perempuan tersebut.
Ini bukan tentang tradisi Jawa semata, karena disetiap daerah tentu punya tradisi masing-masing, namun ini tentang hak dan kemanusiaan perempuan sebagai manusia utuh. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama manusia yang memiliki hak untuk hidup layaknya manusia. Begitupun perihal anak, anak laki-laki ataupun perempuan adalah sama-sama manusia setara dan sama-sama membawa berkah, bukan semata-mata ditentukan oleh jenis kelamin.
Sebagai seorang perempuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat modern hari ini, perempuan masih saja menjadi bulan-bulanan budaya patriarki dengan berbagai balutannya, yang secara sadar ataupun tidak telah membuat beban perempuan semakin berlipat ganda. Sudahlah menjadi manusia perempuan dianggap sebagai makhluk inferior, ditambah lagi dengan tradisi yang menuntut ini dan itu agar disebut sebagai perempuan yang utuh. Padahal, perempuan dengan kediriannya adalah manusia utuh tanpa embel-embel lainnya.
Comments