Ust. Saifuddin
Salah satu alasan pembenar dari para teroris dalam melakukan tindakan terornya adalah bahwa negara atau kawasan yang mereka jadikan target adalah kawasan yang mereka sebut darul harb atau negara/kawasan yang dianggap memusuhi Islam. Mereka menggunakan konsep darul Islam versus darul harb dalam melihat suatu kawasan.Tidak jarang yang mereka sebut sebagai darul harb adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan menjalankan ajaran agamanya tanpa ada yang menghalang-halangi.
Sebenarnya negara yang maksudkan bukan darul harb seperti yang didefinisikan dalam kitab-kitab fiqih, tetapi lebih karena negara tersebut bukan negara Islam seperti yang mereka inginkan. Darul Islam yang mereka pahami adalah negara Islam versi mereka, meskipun negara tersebut sebetulnya sudah menjadi darul Islam atau darussalam, negeri yang damai. Pemahaman semacam ini perlu diluruskan karena konsep darul Islam dan darul harb di tangan mereka menjadi terlepas sama sekali dari konteksnya.
Para ulama’ fikih membagi kawasan dunia menjadi dua bagian, yaitu darul Islam dan darul harb, sedangkan sebagian ulama’ yang lain menambahkan darul ‘ahd (negara yang terikat perjanjian) atau dar al-sulh(negara damai) sebagai pembagian kawasan yang ketiga.
Definisi dari darul Islam antar ulama berbeda-beda. Majid Khadduri (1995) mendefinisikannya sebagai daerah yang berada di bawah pemerintahan Islam. Penduduknya adalah kaum muslimin yang sejak lahirnya menganut agama Islam atau konversi ke Islam dan penduduk yang beragama lain dibiarkan tetap menjalankan agamanya tetapi mereka harus membayar jizyah (pajak).
Ulama yang lain menyatakan bahwa yang penting hukum Islam bisa berlaku di suatu daerah tersebut, umat Islam dapat menjalankan syariat agamanya dengan leluasa meskipun bukan pemerintahan Islam juga bisa disebut sebagai darul Islam. Menurut Ibnul Qayyim dalam kitab Ahkamu Ahli Dzimmah (1983), mayoritas ulama’ mengatakan bahwa darul Islam adalah negara yang dikuasai umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut.
Abdul Wahhab Kholaf (1994) mengutip ungkapan sebagian fuqoha, bahwa darul Islam adalah wilayah yang di dalamnya berlaku hukum-hukum Islam dan orang yang ada di dalamnya mendapatkan keamanan dengan keamanan Islam, baik mereka itu muslim maupun dzimmi (non-muslim).
Abdul Karim Zaidan dalam kitab Ahkamu adz-Dzimmiyyin wa al-Musta’minin fi Dari al-Islam (2014)menambahkan bahwa syarat paling penting untuk menggolongkan suatu wilayah menjadi Darul Islam ditinjau dari kenyataan bahwa wilayah itu diperintah oleh umat Islam di bawah kedaulatan dan kekuasaan mereka, dan hukum yang tampak di dalamnya adalah hukum Islam. Dan tidak disyaratkan bahwa wilayah itu harus dihuni oleh umat Islam selama ia masih di bawah kekuasaan mereka.
Berbeda dengan darul Islam,darul harb adalah negara yang tidak memiliki ikatan perjanjian damai maupun perjanjian gencatan senjata dengan negara Islam meskipun dia tidak selalu sedang berperang dengan negara Islam. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab Atsarul Harb fi al-fiqh al-islami-Dirosah Muqaaranah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1963,hlm. 67), mendefinisikan darul harb sebagai wilayah yang di dalamnya tidak diterapkan hukum Islam, baik sebagai hukum agama maupun politik, karena letaknya yang ada di luar wilayah kekuasaan Islam. Menurut Abdul Wahhab Kholaf menukil pernyataan sebagian fuqoha, darul harb adalah daerah yang tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, dan penduduknya tidak dilindungi dengan keamanan Islam.
Selain dari dua kategori di atas, sebagian ulama menambahkan kategori yang ketiga, yaitu darul ahdi. Yang dimaksud darulahdi adalah daerah atau negeri yang tidak tunduk kepada kekuatan Islam tetapi mempunyai perjanjian damai yang harus dihormati oleh mereka dan mereka mempunyai kekuasaan penuh atas daerahnya(Hasbi Ash-Shiddiqi, 1971).
Ada dua hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan darulahdi ini:pertama, negara yang memaklumkan perang kepada Islam atau yang memusuhi umat Islam, tapi kemudian negara Islam menawarkan tiga pilihan, yaitu menjadi ahlal-dzimmah(membayar pajak), memeluk Islam atau berperang, dan mereka memilih menjadi ahludzimmah; kedua, negara yang bukan negara Islam, tidak memusuhi Islam dan tidak mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam. Dalam hal ini negara tersebut bisa disamakan dengan negara sahabat.
Pembagian kawasan menjadi dua atau tiga ini sebetulnya belum dikenal pada zaman Rasulullah maupun zaman al-khulafa al-rasyidun (periode para Sahabat). Para sarjana memperkirakan konsep ini muncul pada abad ketujuh. Pasca al-khulafa’ al-rasyidun, kekhilafahan Islam semakin meluas dan dalam banyak situasi bertemu dan bahkan berhubungan dengan peradaban dan negara-negara lain yang tentunya non Islam. Dari beberapa hubungan tersebut ada yang dilakukan dengan cara damai, tetapi ada juga yang terlibat dalam peperangan. Di akhir masa Abbasiyah di saat kekhilafahan Islam sedang berada puncak kemundurannya, umat Islam terlibat dalam beberapa perang dengan negara-negara musuh.
Saat kerajaan-kerajaan Islam sedang menghadapi peperangan, dan timbul suatu persoalan tentang bagaimana membedakan antara negara Islam dengan negera musuh, maka kemudian muncullah konsep ini:darul Islam untuk menyebut negara Islam dan darul harb untuk menyebut negara musuh. Jadi suasana politik waktu itulah yang membidani kelahiran konsep pembagian kawasan ini dan ini semata mata merupakan ijtihad ulama’ waktu itu.
Dalam situasi sekarang ini, kategori darulahdi merupakan konsep yang relatif lebih relavan lebih sesuai dengan kondisi kekinian. Saat ini hampir semua negara terikat oleh suatu perjanjian dan peraturan-peraturan internasional. Dalam Islam, diwajibkan memenuhi janji, oleh sebab itu, perlakuan terhadap negara manapun sekarang ini harus dalam perspektif darulahdi ini kecuali yang secara jelas dan terang-terangan memusuhi umat Islam dan negaranya.
Menarik misalnya membaca hasil survey Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari (keduanya guru besar ilmu politik Unievrsitas George Washington, Amerika Serikat), terhadap 208 negara kemudian membuat peringkat berdasarkan variable-variable yang telah ditentukan yaitu economic islamicity index (indeks Islami di bidang ekonomi). Hasilnya sangat mencengangkan, 20 sampai 30 negara dengan ranking teratas tidak ditempati oleh negara-negara Islam/muslim. Survei ini justru menempatkan Irlandia, Denmark, Luksemburg dan Selandia Baru sebagai negara paling Islami, sementara negara-negara Islam/muslim berada di ranking ke-33 (Malaysia), ke-55 (Kuwait), sedangkan Saudi Arabia berada di peringkat ke-91 dan Qatar ke-111.
Menurut Rehman dan Askari, justru di negara-negara Baratlah nilai-nilai Islami itu diterapkan. Nilai-nilai islami yang dimaksud seperti adil, tidak korup atau amanah, maju, bersih, kebebasan dijamin, kesenjangan sosial kecil, masyarakatnya lebih mengedepankan dialog dan rekonsiliasi dan toleransi.
Konsep darul Islam dan darul harb perlu dirumuskan ulang sesuai dengan konteksnya. Cita ideal al-Qur’an mengenai negara pada dasarnya bukanlah negara Islam, tetapi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sebuah negeri yang aman, damai, makmur, dan Tuhan meridhai. Bisa jadi, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur terdapat pada negeri yang tidak menerapkan negara Islam secara formal, tetapi substansi ajaran Islam benar-benar dijalankan secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya, rakyatnya aman, damai, sejahtera, dan religius. Inilah negeri darussalaam, negeri yang kita cita-citakan.
Ust. Saifuddin, dosen Fakultas Syari’ah dan HukumUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Comments