Tulisan By Nuraini

Sebelumnya, izinkan saya berbagai cerita, saya punya seorang teman perempuan, sebut saja namanya Mawar. Mawar ini memiliki seorang pacar yang sudah mereka jalaninya sejak dari masa sekolah, hingga hari ini kita sudah berstatus pekerja. Pada suatu moment kami mengadakan acara kampus yang melibatkan teman laki-laki satu organisasi. Singkat cerita, si Mawar lupa memberitahukan pacarnya jika ia pergi ke kampus pada hari itu dijemput oleh panitia laki-laki. Hingga si Mawar ketahuan sedang dibonceng oleh teman laki-laki kami. Seketika sang pacarnya nelpon dan marah-marah kepada kami karna sudah membiarkan si Mawar pergi dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuannya. Hingga mereka berdua bertengkar hebat sampai si Mawa ditampar di hadapan kami. Pemandangan yang mengejutkan lagi adalah sang pacarnya malah menusukkan pisau ke tangannya sendiri karena merasa bersalah telah menampar si Mawar. Saya sebagai sahabatnya mencoba bertanya kenapa dia bisa bertahan dengan laki-laki seperti itu, jawabannya sangat mengejutkan karena kebaikan sang laki-laki yang selalu ada ketika ia butuh, dan karena dia terlahir dari keluarga yang broken home, serta amanah ayahnya yang meminta ia tetap bertahan sampai menikah dengan lelaki yang dianggapnya sangat baik itu. Contoh tersebut hanya satu dari sekian kasus kekerasan yang dialami oleh beberapa teman saya baik dalam pacaran, keluarga, bahkan dalam rumah tangga.

Berdasarkan hasil penelitian dari menganalisis dokument bahwa semakin tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan adalah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya; pada umumnya masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan stigma dan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani, dan tidak toleran dalam hal apapun. Sehingga pola ini akhirnya menimbulkan tidak adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, dan sebagian laki-laki beranggapan bahwa hal demikian adalah sebagai bentuk mengendalikan orang lain. Menurut Michael Kaufman, seorang aktivis yang mengkampanyekan “Pita Putih” mengatakan bahwa adanya tiga faktor penyebab terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan, yaitu; kekuasaan patriarki, hak istimewa (privilege), serta sikap yang primisif (memperbolehkan).

Kondisi di atas semakin memperparah keadaan, karena diwaktu yang bersamaan sebagian besar perempuan  memilih untuk diam dan tidak berani untuk melaporkan kejadian yang dialaminya kepada pihak yang berwajib, kalaupun sudah ada yang berani melaporkan malah si korban sering mendapatkan tindakan yang tidak mengenakkan dari masyarakat setempat, sehingga menambah beban psikisnya.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, yaitu; Pertama, laki-laki ataupun perempuan harus memperjelas porsi pembagian peran di rumah, sehingga bisa saling memahami dan tidak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, adalah dengan menjaga kondisi mental setiap orang, apalagi di tengah wabah seperti saat ini yang sangat mudah memicu tekanan kepada setiap orang, jika tak mampu mengendalikan diri. Sehingga jika kita menemukan kasus-kasus seperti itu terhadap perempuan, maka beranilah melaporkan dan jadilah pribadi yang memberikan support kepada korban bukan malah memojokkannya dengan berbagai celotehan kita, karena mereka butuh sosok yang menguatkan bukan menjatuhkan. Ayo kita menjadi laki-laki dan perempuan yang saling memahami peran masing-masing secara benar dan utuh, dan ayo kita sama-sama menjadi perempuan yang saling menguatkan satu sama lain, tanpa mempertanyakan siapa mereka.

dutadamaisumbar

Cegah Ekstremisme Kekerasan Dengan Saling Memahami Peran Antara Laki-laki dan Perempuan Secara Kaffah, Part 1.

Previous article

TELADAN GUSDUR DALAM TOLERANSI BERAGAMA, Part 1

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *