Secara resmi pendaftaran Capres dan Cawapres untuk Pemilu 2024 adalah pada 7-13 September 2023 dan pada 11 Oktober 2023 penetapan Capres dan Cawapres.
Jadi Capres dan Cawapres secara resmi ditetapkan masih sekitar satu tahun lagi, dan selama waktu sekitar setahun itu lobi-lobi politik partai terus berjalan untuk mengusung siapa jagoan capres dan cawapresnya, ngajak untuk berkoalisi, lawan bisa menjadi kawan, kawan bisa menjadi lawan, kemunafikan terus berjalan, apakah untuk kepentingan partai? Apakah untuk kepentingan pribadi? Apakah untuk kepentingan bangsa? Inilah politik, dan politik itu bergerak dinamis.

Sangat disayangkan mereka yang bersama partainya berteriak-teriak nasionalis, demoktaris, yang katanya demi kepentingan bangsa dan negara, kini secara resmi mengumumkan bahwa capres yang diusungnya adalah seorang tokoh yang terlanjur dicap sebagai bapak politik identitas. Demi diperoleh tahta ayat dan mayat di jadikan alat dan senjata.

Entah apa yang ada dalam pandangan politik mereka, dulu dengan gagah berkata “Suara Jokowi adalah suara partai kami” tapi anehnya ketika Presiden Jokowi tidak memilihnya menjadi menteri, mereka putar kemudi dan merapat pada barisan yang senantiasa berusaha menjegal segala kebijakan pemerintah.

Inilah politik, kawan jadi lawan dan lawan jadi kawan, Memilih calon yang seirama dan sejalan, sebagai mana rekam jejak calon yang diusung, demikian juga sesungguhnya sepak terjang para pengusung menghalalkan segala macam cara untuk mecapai apa yang dikehendaki kepentingan pribadi maka diperlukan pemimpin yang bisa diaturnya, bisa disetirnya sesuai kemauannya. Belum dewasa dan matangnya politik masyarakat Indonesia menjadi modal awal untuk memperoleh suara.

Mereka memiliki kekayaan, berpendidikan, bahkan memiliki media besar yang tentunya tahu setiap tokoh bagaimana karakter dan rekam jejaknya. Namun karena politik itu dinamis kawan bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi kawan, maka semua keburukan dan kekurangan berubah menjadi sesuatu yang pantas untuk diunggulkan. Mereka sengaja menutup mata dan telinga dan hatinya telah dibutakan oleh politik kepentingan pribadinya. Haus dan lapar akan kekuasaan yang membutakan mata hatinya, maka segeralah berhenti bicara tentang nasionalis, tentang demoktatis, berhentilah bicara demi kepentingan bangsa, karena bangsa Indonesia itu Bhinekha Tunggal Ika. Indonesia tidak butuh pemimpin yang hanya pandai bermain kata, hanya duduk dikursi empuknya sembari mencari dalil, kata bijak, ataupun teori-teori tanpa aksi nyata.

Ambang batas untuk pencalonan capres dan cawapres adalah 20%, kini tampak partai-partai politik sudah mulai mesra untuk merundingkan siapa presiden, siapa wakil, siapa dan jadi menteri apa. Pemilihan umum menjadi tampak seperti bagi-bagi jabatan, bagi-bagi kekuasaan, yang ditentukan dengan seberapa besar dana yang dikucurkan dan kelak menjadi pejabat apa dengan gaji berapa?

Sayangnya banyak rakyat Indonesia yang tidak membaca situasi tersebut, bahkan sengaja di bodoh-bodohi untuk menciptakan citra peduli, nasionalis, demokratis, demi memperoleh simpati.

Inilah politik dan jangan anggap enteng, sebagai generasi muda yang peduli dengan bangsa mari rapatkan barisan, maju dan bongkar semua kemunafikan. Ajarkan politik pada mereka yang tidak tahu, beri pemahaman pada mereka yang belum paham karena tegaknya NKRI, stabilnya pemerintahan, dan jayanya Indonesia di mata dunia ditentukan oleh pemimpin negara yakni presiden, dan tugas kita adalah memilih presiden yang menjunjung tinggi kemanusiaan, cinta tanah air, mau berkorban untuk kemajuan negara, nusa dan Bangsa Indonesia. Ingat Pemimpin pintar bukan hanya pandai merangkai kata, tapi pandai berkarya untuk bangsa.

Suyadi

Jadilah Tuan Rumah Di Negeri Sendiri

Previous article

CERMIN JIWA

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini