“Khilafah terosss,” kata seorang rekan mengomentari tulisan-tulisan saya yang selalu membahas ancaman khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia. Komentar tersebut, satu sisi, merupakan ketidaktahuan dirinya, sebagai representasi milenial, terhadap fakta sejarah, juga merupakan kebodohan dirinya akan realitas lapangan: bahwa saya tidak sedang bercanda, hari ini, dan semakin hari, gerak-gerik para aktivis khilafah semakin keterlaluan. Kini, mereka sedang penggarapan film indoktrinasinya: Jejak Khilafah.
Polemik terbaru ini, bermula dari sebuah poster Talkshow Launching Film garapan Khilafah Channel, berjudul “Jejak Khilafah di Nusantara”. Dalam acara tersebut, beberapa dedengkot HTI menjadi pemateri: Nicko Pandawa, Ismail Yusanto, Rokhmat S. Labib, dan Felix Siauw. Sementara sebagai narasumber spesial, ada Tengku Zulkarnain, Mizuar Mahdi, Alwi Alatas, Moeflich Hasbullah, dan, ini yang menjadi polemik, Profesor Peter Carey, sejarawan otoritatif tentang Nusantara dari Oxford, dicatut.
Bakal hadirnya Prof Carey dalam talkshow tersebut, kemudian, diklarifikasi oleh asisten risetnya, Feureau Himawan Susanto, setelah bertanya kepada Prof Carey langsung. Dan hasilnya, ia mengatakan tidak pernah terlibat dalam agenda-agenda semacam itu dan, dengan demikian, apa yang tertera dalam poster di atas, murni adalah kelicikan, kebohongan, fitnah, dan keburukan intrik politik para agen khilafah itu. Prof Carey diedit sedemikian rupa, seakan dirinya mengafirmasi agenda licik mereka.
Jelas, ini merupakan intrik paling buruk, di mana para aktivis khilafah sudah bermain-main di pusaran otoritas akademik. Boleh jadi, itu karena mereka sadar, Felix Siauw dan Ismail Yusanto saja tidak cukup kuat, dan orang-orang menganggapnya sampah tak bermutu. Prof Carey sangat kecewa atas pencatutan nama dirinya. Melalui sang asisten, ia kemudian membuat siaran pers pada Senin (3/8) kemarin terkait beredarnya poster Talkshow Lauching Film Jejak Khilafah, sebagai berikut:
Prof Carey pernah melakukan wawancara dengan yang membuat film Jejak Khilafah, namun itu ditujukan untuk meluruskan fakta tentang hubungan Turki Utsmani dengan Pangeran Diponegoro, yang ternyata nol besar. Kedua, Prof Carey tidak pernah diundang menjadi special guest, itu fitnah. Lagi pula, ia tidak hadir dalam acara launching tersebut. Video dirinya diedit seolah-olah menyetujui pandangan bahwa Islam di Nusantara, dulu, juga raja-rajanya, adalah bagian dari apa yang mereka anggap khilafah Islam yang berpusat di Turki. Sungguh kepalsuan yang menjijikkan.
Memalukan, itu kata yang pas untuk para dedengkot khilafah, yang di antara aktor utamanya ialah Felix Siauw dan Ismail Yusanto itu. Mereka melakukan segala cara, menghalalkan segala bentuk fitnah, untuk mengelabui masyarakat. Seharusnya, itu membuat kita, semakin yakin, juga membuat pengikutnya sadar diri, bahwa segala yang para pengusung khilafah itu sampaikan, adalah kebohongan besar. Bagaimana bisa mereka mengatakan berpolitik sesuai ajaran Islam tetapi melakukan fitnah?
Film Jejak Khilafah sendiri dibuat oleh Felix dkk, untuk mengarahkan opini publik bahwa raja-raja Islam di Nusantara adalah bagian, atau setidaknya menjadi relasi, pemerintahan Turki Utsmani. Padahal, aslinya, Prof Carey sudah menuturkan, Turki Utsmani sama sekali tidak peduli dengan Jawa, apalagi bermitra dengan raja Nusantara ketika itu. Islam juga masuk ke Indonesia tidak melalui jalur ekspansi politik, tidak melalui jajahan Turki Utsmani. Islam masuk melalui jalur penetrasi budaya, masuk secara damai.
Jejak Khilafah, konon, ada tiga episode. Episode pertamanya akan tayang 20 Agustus , tiga hari setelah perayaan HUT RI ke-75. Felix dan Ismail membahas panjang film tersebut saat launching kemarin. Kesimpulannya, dirinya, tentu bersama rekan-rekan para pengusung khilafah, hendak membelokkan sejarah Nusantara. Umat akan semakin dibuat bingung dan membenci negara mereka sendiri, Indonesia yang demokratis. Semangat yang berusaha dibawa film tersebut ialah: “Ayo kita kembali ke pangkuan khilafah ala pendahulu kita!”
Penipuan demi penipuan terus dilakukan, sambil mengatakan kepada umat bahwa ada semacam pemutar-balikan sejarah di Indonesia. Padahal, merekalah yang justru memanipulasi sejarah, lalu kenapa malah menuduh balik? Para aktivis khilafah di Indonesia memang tidak punya rekam jejak yang jelas, dan kesemuanya adalah mantan politikus, politikus kadaluarsa yang tiba-tiba berlagak membela Islam. Tengku Zulkarnain, Yusuf Martak, dan sahabat Ismail-Felix lainnya, memangnya mereka benar-benar paham sejarah? Palsu!
Pada tataran yang lebih mendalam, mereka juga sebenarnya telah menipu ketika mengatakan bahwa Turki Utsmani itu menerapkan sistem khilafah. Khilafah itu, ini sudah saya ucapkan dalam banyak tulisan sebelumnya, berarti ‘pemerintahan’, bukan sistem spesifik. Ketika seseorang bilang, ‘khilafah Turki Utsmani’, maka ia sedang mengatakan ‘pemerintahan Turki Utsmani’. Lalu sistem pemerintahan seperti apa yang dimaksud? Monarki-absolut? Jika ia, maka apa yang dituturkan Tengku Zulkarnain bahwa tegaknya khilafah tidak berbahaya bagi NKRI, adalah tipuan berikutnya.
Tidak hanya mencatut, mereka menipu di atas penipuan lainnya. Termasuk film Jejak Khilafah ini. Apakah kita akan tetap menganggapnya aman-aman saja? Kita wajib memikirkan kembali anggapan tersebut, sebelum negeri ini runtuh di tangan mereka.
Meski film Jejak Khilafah belum tayang dan menghipnotis umat, membutakan mereka dari sejarah Islam Jawa yang sebenarnya, langkah tegas harus segera diambil dari sekarang. Kesalahan fatal pemerintah dalam merespons pergerakan para aktivis khilafah ialah tiadanya tindakan tegas, dan hanya melakukan perang wacana tandingan. Itu jelas tidak efektif. Pemerintah akan kalah masif, secara pergerakan. Jika mereka sampai membuat film begini, itu artinya, mereka tidak kosong saku, untuk setiap agendanya.
Film Jejak Khilafah barangkali memang tidak akan membuat sistem politik berubah. Tetapi, film tersebut cukup untuk memengaruhi masyarakat agar tidak lagi simpati kepada pemerintah di satu sisi, dan menggiring umat Islam ke dalam sejarah palsu yang dibuat-buat oleh para simpatisan Hizbut Tahrir. HTI memang sudah habis, tetapi untuk mengatakan pergerakan mereka musnah, kita salah besar. Mereka belum mati, mereka bergerak terus dan, kini, mereka mulai membesar bahkan tanpa terakomodir dalam satu organisasi sekalipun.
Langkah yang bisa ditempuh ialah melarang film tersebut, atau mengedukasi umat bahwa film tersebut, seratus persen, adalah manipulasi sejarah. Umat harus diarahkan untuk keluar dari zona indoktrinasi, zona penipuan Felix dan aktivis khilafah lainnya, tentang delusi negara Islam. Indonesia tidak kurang Islami. Karenanya, film Jejak Khilafah sama sekali tidak penting, kecuali untuk membangkitkan emosi umat melalui pembelokan sejarah oleh aktivis khilafah itu sendiri.
Dan yang terpenting, Islam di Indonesia tak ada kaitannya dengan Turki Utsmani, bukan koalisi politik mereka. Turki Utsmani memang luas teritorinya dan lama memerintah, tetapi bukan di Nusantara. Diponegoro, kata Prof Peter Carey, memang kagum dengan Turki Utsmani, tetapi bukan bagian darinya. Jika ada yang mengatakan demikian, pasti, mutlak, orang itu adalah budak Felix dkk, atau korban penipuan-penipuan mereka.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Tulisan ini telah tayang di Harakatuna.com
Comments