Seiring dengan meninggalnya George Floyd, seorang pria kulit hitam yang meninggal saat sedang ditahan oleh polisi di Minnesota, Amerika Serikat, telah memicu demonstrasi anti-rasisme dan mengecam aksi brutalisme polisi secara besar-besaran di berbagai negara.Video penangkapan Floyd pun terekam dan popular di media sosial, video tersebut menampilkan polisi yang bernama Derek Chauvin menahan Floyd dengan cara menindih lehernya mengunakan  salah satu lutut kakinya.

Saat itu Floyd dengan posisi terlungkup di aspal. Ia pun sempat beberapa kali berteriak “aku tidak bisa bernapas,” namun teriakan itu tidak dihiraukan oleh Derek Chauvin dan beberapa polisi lain yang ada di tempat kejadian. Floyd ditindih oleh Chauvin selama 8 menit 46 detik.Tidak lama setelah itu, Floyd pun tidak bergerak, lalu menghembuskan nafas terakhirnya.Sehari usai kematian George Floyd, demonstrasi besar-besaran terjadi di Minneapolis. Aksi tersebut memprotes kebrutalan polisi Minnesota terhadap George Floyd.

Aksi protes terhadap rasisme dan kematian Floyd pun menjalar ke berbagai negara seperti Kanada, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, Italia, Hongkong hingga Indonesia.

Rasisme di Indonesia

Kematian George Floyd bisa dibilang menambah panjang sejarah kelam permasalahan tindakan brutalisme institusi kepolisian dan rasisme terhadap masyarakat minoritas kulit hitam di Amerika Serikat.Hal serupa tidak hanya terjadi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat. Permasalahan brutalisme institusi kepolisian dan permasalahan rasismejuga menimpa orang papua di Indonesia.

Kasus seperti diskriminasi yang dialami oleh George Floyd, juga dirasakan oleh orang papua di Indonesia.Seperti apa yang terjadi oleh Obby Kogoya, seorang mahasiswa asal papua yang dijatuhkan ke aspal dan secara terus menerus diinjak oleh polisi Indonesia di Jogjakarta pada 15 Juli 2016, ketika ia ikut aksi demo mahasiswa papua yang memperingati referendum yang tidak demokratis tahun 1969 yang mengakibatkan terintegrasinya wilayah papua ke Indonesia.

Obby pun ditangkap dan diseret di aspal, ia juga ditendang dan dipukul. Petugas lain menginjak kepala Obby dan juga berkali-kali menginjak punggungnya. Obby adalah mahasiswa yang tidak bersenjata, tidak mengancam petugas atau orang yang ada disekitarnya namun nyatanya dia diperlakukan seperti penjahat. Obby pada akhirnya berhasil selamat namun ia dihukum empat bulan penjara atas tuduhan melawan dan menyerang dua petugas polisi, walaupun sebenarnya ialah yang menjadi korban.

Tindakan dan perilaku rasisme yang dialami oleh orang papua di Indonesia juga banyak terjadi di berbagai bidang kehidupan dan bernegara. Seperti adanya tindakan rasisme hinaan orang papua dengan hewan monyet yang terjadi pada kasus pengepungan mahasiswa papua di asrama mereka oleh polisi dan TNI di jalan Kalasan Surabaya, tanggal 16 Agustus 2019 lalu.

Adanya pengepungan dan tindakan rasisme oleh pihak polisi dan TNI pada mahasiswa papua di asrama mereka berdasarkan adanya tuduhan perusakan bendera merah putih yang dipasang di depan asrama namun tuduhan tersebut nyatanya tidak memiliki bukti yang jelas[4].

Adanya perilaku rasisme terhadap orang papua di Indonesia juga dapat kita lihat pada media massa di Indonesia. Stigma buruk sering dilekatkan kepada orang papua oleh media, salah satunya adalah stigma “pembuat onar” yang sering digunakan oleh media dalam memosisikan orang papua dalam suatu pemberitaan.

Permasalahan rasisme kepada orang papua di Indonesia juga merambah dibidang hukum, seperti artikel yang dilansir oleh Tirto 9 Juni 2020. Rasisme di Indonesia bisa terlihat lewat putusan-putusan pengadilan terhadap orang papua. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem “Pelaku rasisme di tuntut minim, sedangkan pemrotes rasisme dituntut belasan tahun.”

Tindakan dan perilaku rasisme juga dialami oleh orang papua dalam kehidupan sehari-hari, terlebih orang papua yang tinggal di pulau jawa. Hal itu seperti sering adanya candaan yang cenderung mengarah pada diskriminasi warna kulit.Diskriminasi tersebut biasanya berbentuk candaan dan anggapan bahwa orang yang berkulit putih dianggap sebagai orang yang cantik, sedangkan orang yang berkulit hitam sering dianggap sebagai orang yang jelek.

Tidak hanya itu, perilaku diskriminasi juga sering terjadi pada mahasiswa papua yang besekolah di pulau jawa, adanya bentuk diskriminasi itu biasanya dalam bentuk penolakan beberapa tempat kos-kosan yang tidak menerima mahasiswa asal papua untuk menempati kos-kosan mereka.Permasalahan rasisme yang dialami oleh orang papua sama dengan permasalahan yang dialami oleh masyarakat kulit hitam di AS, keduanya merupakan permasalahan rasisme yang sudah terstruktural.

Apa yang dimaksud dengan rasisme struktural disini ialah tindakan dan perilaku rasisme yang sudah adan mengakar pada masyarakat di berbagai bidang kehidupan seperti sosial, kesejahteraan ekonomi, pendidikan dan hukum.Permasalahan rasisme yang sudah terstruktural tersebut tentu tidak mudah dan cepat untuk dibenahi.

Adapun yang bisa dilakukan sekarang ialah dengan mendukung adanya gerakan aktivisme anti-rasisme dan menjadi orang yang tidak rasis, namun menurut sejarawan dan aktivis pergerakan anti-rasisme di AS, Ibram X Kendi menyatakan bahwa bersikap tidak rasis tidak lah cukup untuk melawan rasisme, karena hal tersebut menandakan sikap netral pada rasisme.

Menurut Kendi tidak ada opsi alternatif melawan rasisme, bersikap netral dengan cara bertindak tidak rasis­–sama saja membiarkan tindak dan perilaku rasisme. Kebalikan dari orang yang rasis bukanlah orang yang tidak rasis, melainkan orang yang anti-rasis.Perbedaan dari keduanya ialah, orang yang rasis ialah orang yang mendukung adanya gagasan hirarki rasial sedangkan anti-rasis mendukung adanya gagasan kesetaraan ras.

Gita Ivani Gresela Waruwu

Wajah Indonesia Kini

Previous article

Dampak Kesehatan Mental yang Bisa Dialami Anak Broken Home

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Edukasi