Tulisan By Nuraini

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa tiap – tiap agama tidak dapat menghindari diri dari kekerasan atasnama agama. Di lain sisi, agama telah membangun solidaritas hubungan yang sangat erat dalam menciptakan misi perdamaian, keharmonisan antar pemeluk dari setiap agama yang ada. Terlepas dari itu, agama juga menjadi spirit yang menggalang kekuatan dalam melawan kekerasan, kebejatan serta penafsiran – penafsiran yang menyimpang dari substansi ajaran agama yang substansial.

Seseorang yang berharap agama tanpa kekerasan sepertinya absurd atau teramat utopia, sebagaimana mengharapkan cinta di dalam hati para pembenci. Agama apa pun yang selama kita kenal di dunia ini, sejak masa lahirnya hingga sekarang ini, adakah yang tidak kita dengar yang terbebas dari kekerasan? adakah yang tidak kita temui yang terbebas dari beragam konflik? Tentu jawabnnya adalah: tidak ada. Semua agama teleh banyak berkonflik dan banyak  pula yang bersentuhan dengan kekerasan (Karen Amstrong, 2015).

Bahkan dalam agama Buddha, ajaran yang mengidealkan keseimbangan kosmis, dapat juga kita temukan dalam ajaran Kristiani tentang cinta kasih, seperti itu pula ajaran Islam yang mengidealkan keadilan bagi seluruh alam semesta. Kesemua agama tersebut pernah bergelimang darah, pepecahan, bahkan pembunuhan yang sangat tidak manusiawi. Sejarah dunia pun telah mencatat dan merekam bagaimana agama – agama monoteis justru punya kekerasan sejarah yang paling berdarah – darah, dibandingkan agama – agama non-monoteis.

Telah kita ketahui bahwa Perang Salib antara Muslim dan Kristen yang berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama antara abad ke-11 dan ke-13 (1096-1099; 1187-1192; 1208-1271, dan tentu memakan korban yang sangat banyak (Tyerman 2006). Kita harus mengakui bahwa banyak fakta kekerasan agama itu, sekalpun kita sering kali mendengar tidak ada agama satu pun yang mengajarkan kekerasan bagi setiap pemeluk – pemeluknya. Orang atau oknum yang telah melakukan kekerasan atasnama agama dan melegitimasi kekerasannya dengan dalih agama, tentu itu pandangan yang justru sangat keliru.

Realitas kehidupan manusia di era digital yang kita nikmati sekarang ini, banyak sekali kita mendapati suguhan beragam informasi yang kita temukan. Praktik keagamaan yang tidak begitu menceminkan nilai – nilai agama itu sendiri. Dari yang sikap merasa beragama yang paling benar hingga yang seolah – olah mendapat mandataris langsung hak progrativ Tuhan, kedua hal demikian telah membuat umat beragama siulit membedakan antara sikap beragama yang secara “ekstrinsik” dan sikap beragama yang secara “intrinsik”.

bersambung part 2…

dutadamaisumbar

2025 Bebas Dari Terorisme, Mungkinkah?

Previous article

Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Perdamaian Antar Agama – Agama, Part 2

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini