Cover : Kartika Yulia Ismed

Oleh : Onriza Putra

Unpopular Opinion adalah kanal baru yang merangkum berita-berita viral dan ditanggapi berbeda dari kebanyakan netizen. Opini penulis terbuka lebar untuk ditanggapi ulang.

Beberapa hari terakhir, jagat dunia maya riuh rendah mengomentari mudik. Ada yang pro dan tentu saja ada yang kontra. Kelompok kontra menilai regulasi pemerintah yang melarang mudik, tidak masuk akal dan tidak pro masyarakat perantau. Seperti yang kita tahu, mayoritas masyarakat kita menompangkan hidup di kota-kota besar, sehingga meninggalkan sanak famili di kampung halaman. Sementara mudik adalah tradisi khas yang berarti pulang ke kampung halaman, baik saat lebaran maupun di hari-hari biasa.

Bahkan, kelompok yang merasa dirugikan ini mulai membandingkan kebijakan-kebijakan lain dan menilai pemerintah tebang pilih. Ketidaksetujuan ini dimanifestasikan dalam komentar-komentar di media sosial. Komentar warga internet yang populer seperti : “Corona datang pas lebaran aja“, “Corona hilang saat Pilkada“. Atau membandingkan dengan kebijakan pemerintah saat Perayaan Natal dan Tahun Baru. Hingga mengkritik kedatangan presiden saat pernikahan Atta Halilintar.

Baiklah, sebagai opini yang tidak umum, penulis mencoba menanggapi kritik-kritik umum tersebut. Perlu dicatat, tanggapan penulis jangan diartikan sebagai dukungan terhadap pemerintah saat ini, tapi lebih ke menyampaikan argumentasi dengan jernih dan rasional. Kadang memang, kerasionalan kita sering kali ditutupi oleh kebencian politik yang membabi buta. Mwuhhehehe

  1. Corona Hilang Saat Pilkada

Pemilihan Kepala Daerah yang kita laksanakan Desember lalu adalah penyelenggaraan pemilihan yang dilakukan secara serentak, yang perencanaanya sudah dilakukan dari beberapa tahun sebelumnya. Perlu kita ingat, bahkan hari pencoblosannya dimundurkan 3 bulan, dari yang seharusnya bulan September menjadi Desember.

Sesaat setelah kasus pertama Covid-19, beberapa tahapan pemilu dihentikan, panitia pemilihan dirumahkan dan regulasinya berganti-ganti. Ada sekitar dua atau tiga bulan tahapan berhenti dan seluruh stakeholders (KPU, Pengawas Pemilu, Pemerintah, DPR, Aparat Keamanan, Tim Kesehatan dan lainnya) meracik formula baru untuk tetap melaksanakan Pemilu dalam kondisi darurat nasional. Saat itu ada 3 opsi, yaitu tetap dilakukan pada September 2020, opsi kedua pada Desember 2020 dan opsi terakhir diadakan tahun 2021.

Akhirnya para pemangku kepentingan sepakat memilih opsi kedua dan pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 dan meningkatkannya menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020. Selaku pelaksana, KPU melakukan revisi terkait persiapan teknis dalam PKPU (Peraturan Komisi Pemiliham Umum). Perubahan-perubahan ini merombak total “corak” Pemilu yang identik dengan keramaian. Mulai dari verifikasi dukungan calon perseorangan, menghilangkan kampanye tatap muka, meniadakan debat publik terbuka, mewajibkan rapid test seluruh panitia hingga melakukan protokol kesehatan ketat saat hari pencoblosan. Bahkan penggunaan anggaran dialihkan untuk peralatan alat kesehatan. Sejarah mencatat, tidak ada cluster baru akibat Pilkada 2020.

  1. Natal dan Tahun Baru kenapa tidak ada larangan?

Ada, Satgas Penanggulangan Covid-19 mengelurkan Surat Edaran terkait penerapan protokol kesehatan perjalanan orang selama Libur Natal dan Tahun Baru 2021. Aturan tersebut diberlakukan dari tanggal 19 Desember 2020 hingga 8 Januari 2021. Surat Edaran tersebut bernomor 3 tahun 2020.

Kebijakan ini diambil dalam rangka mengantisipasi lonjakan masyarakat yang memanfaatkan Libur Natal dan Tahun Baru. Perlu diingat, perayaan Ibadah Natal juga memperhatikan protokol kesehatan secara ketat. Dan lagi pula, tradisi mudik tidak berlaku saat perayaan Natal dan Tahun Baru.

  1. Pernikahan Atta Halilintar vs Rizieq Shihab

Ini juga poin yang banyak dikritik masyarakat dunia maya. Beberapa aturan melarang masyarakat menciptakan kerumuman seperti pernikahan, lha kok yang melarang justru menghadiri pernikahan artis.

Sekali lagi, penulis bukan dalam posisi dukung-mendukung presiden (residu Pemilu 2020). Kita tahu, regulasi Covid-19 bergantung pada jumlah kasus dan perkembangannya. Saat awal-awal dulu, bahkan ke rumah ibadah pun dilarang (lockdown), termasuk juga melarang melaksanakan pesta perkawinan.

Namun, saat Covid-19 bisa ditangani (sistem cek, tracking, ketersediaan rumah sakit dan alat kesehatan, bahkan saat ini ada vaksin), regulasi-regulasi mulai dilonggarkan. Termasuk saat ini dibolehkan melaksanakan sholat tarawih bagi umat Islam.

Kehadiran kepala negara di pernikahan artis lebih kepada etik dan sense of “merakyat“, maksudnya “kurang elok” bagi seorang presiden menghadiri pernikahan artis ditengah pandemi dan seakan merestui pamer kemewahan (yang tentu saja dibenci mayoritas masyarakat). Lebih tepatnya kita seharusnya komplain di poin itu, ketimbang narasi Covid-19. Karena kita tahu, prosesi itu pasti menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan setiap tamu wajib melakukan swab. Perbedaannya dengan Rizieq Shihab adalah menimbulkan kerumuman yang tidak terkontrol dan abai terhadap protokol kesehatan.

Itulah argumentasi tidak populer dari penulis. Mudik adalah tradisi pulang kampung dan bersifat kolosal. Disamping peningkatan kasus dan varian baru Covid, perpindahan jutaan penduduk yang masif dan tidak terkontrol, apalagi tidak mematuhi protokol kesehatan yang ketat, justru akan membahayakan sanak famili kita dirumah. Stay Save!

Onriza Putra

MENCINTAI KARENA ALLAH

Previous article

Menyemai Toleransi di Masa Pandemi

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini