Sejumlah pemuda lintas agama, suku, dan budaya mengunjungi Taman Baca Kebun Makna di Dusun Karang Sanggrahan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Jateng), Acara tersebut digelar sebagai peringatan Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada 21 September. Gelaran ini diramaikan dengan pementasan jaran kepang, barongsai, dan hadrah. Salah satu pemuka agama yang hadir pada acara tersebut adalah pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Magelang Kiai Haji (KH) Muhammad Yusuf Chudlori atau akrab disapa Gus Yusuf. Pada kesempatan itu, dia mengatakan bahwa dalam ajaran Islam, toleransi atau tasamuh berarti saling menghormati.

Tasamuh dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tokoh agama Buddha Bhante Ditthi Sampanno, PhD yang hadir juga mengamini hal tersebut. Ia berpesan kepada masyarakat Indonesia untuk hidup dengan damai.Kita harus menjunjung Bhinneka Tunggal Ika. Walau berbeda, kita tetap satu.Sebagai informasi, tak jauh dari Dusun Karang Sanggrahan, terdapat 11 desa di Kota Magelang yang juga mengedepankan toleransi dan kerukunan. Sebelas desa yang disebut Kampung Religi itu menjadi melting pot keberagaman dengan menerapkan prinsip saling menghargai dalam kehidupan sehari-hari. Berkat nilai-nilai yang diusungnya, Kampung Religi mengantarkan Kota Magelang masuk ke dalam daftar 10 kota paling toleran di Indonesia versi Setara Institute, yakni lembaga yang berfokus pada kebebasan beragama dan toleransi. Wali Kota Magelang Muhammad Nur Aziz mengatakan, penghargaan itu tidak lepas dari komitmen Pemerintah Kota (Pemkot) Magelang dalam mewujudkan masyarakat toleran.

Beragam agama, ras, dan budaya bukan menjadi penghalang untuk bersikap toleran terhadap sesama. Menurutnya Nur Aziz, memaknai sikap toleran tak hanya dilakukan saat perayaan Festival Toleransi atau melalui keberadaan Kampung Religi. Toleransi perlu dimaknai setiap hari, baik dalam diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Sementara itu, penulis dan influencer Kalis Mardiasih mengemukakan pendapatnya mengenai dampak perkembangan teknologi terhadap sikap intoleran. Ia menilai, transformasi digital yang masif justru membuka ruang bagi narasi-narasi intoleran.Intoleransi, radikalisme, dan diskriminasi muncul akibat konsumsi informasi yang berlebih.

Hal itu ia sampaikan saat berbicara pada Pra-Konferensi International Non-Governmental Organization (NGO) Forum on Indonesian Development (INFID) dengan tema “Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Millenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama” pada Juli 2022. Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Mitigasi Bencana dan Konflik Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Andre Notohamijoyo memaparkan bahwa toleransi, kebinekaan, dan kebebasan beragama dapat dimulai dari keluarga sebagai lingkungan terkecil. Sikap toleran dapat dipupuk dengan mengedepankan dialog terbuka, empati pada orang lain, tradisi saling mendengarkan, serta memahami orang lain (yang berasal) dari latar, kelas, suku, dan agama yang berbeda.

Gita Ivani Gresela Waruwu

Hoi, Pemuda-Pemudi!

Previous article

Tuhan Semesta Alam

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Berita